Wednesday, November 18, 2015

MAKALAH PEMIKIRAN FILSAFAT

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira - kira Abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Dengan makin luas dan makin bertambahnya pengetahuan kita maka akan terasa pulalah kebutuhan akan sesuatu pandangan yang
mengenai keseluruhan, yang meliputi semua lapangan, akan suatu sintesa yang mempersatukan berbagai lapangan itu, yang memperlihatkan semuanya dalam suatu pandangan. Dengan perkataan lain akan filsafat
Keinginan untuk memperdalam dan menyatukan pengetahuan kita ini timbul dari dan sesuai dengan kodrat manusia. Karena manusia melebihi semua makhluk lainnya, justru karena ia mempuyai pemikiran, mempunyai jiwa – rohani yang mengatasi kebendaan atau materi belaka.
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Makalah ini akan membahas pemikiran filsafat. Yang didalamnya akan dijelaskan hasil – hasil pemikiran dari filosof – filosof dunia seperti Al Kindi, Ibnu farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Ghazali.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana awal pemikiran filsafat ?
2.      Bagaiaman pemikiran yunani dan arab-islam ?
3.      Bagaimana pemikiran filsafat dari para filosof – filosof dunia ?
  
PEMBAHASAN

1.      Awal Pemikiran Filsafat
Banyak pendapat yang memaparkan tentang awal kemunculan pemikiran filsafat. Presfektif historis, yang dijadikan pijakan dasar dalam pelacakan sejarah filsafat Barat, menuntut bukti nyata atas kemunculan filsafat. Sejarahwan filsafat Barat berpendapat seragam, bahwa filsafat dimulai di Yunani.[1] Hal senada dipaparkan oleh Bertrand Russel dalam karyanya Sejarah Filsafat Barat, Russel menyatakan bahwa : “Filsafat diawali oleh Thales yang, untungnya, bisa dilacak masa hidupnya berdasarkan fakta bahwa ia pernah meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut para astronom terjadi pada 585 SM. Filsafat dan ilmu pengetahuan – yang semula tidak terpisah – dengan demikian lahir bersama di awal Abad ke 6 SM.”[2]
Meskipun dalam penjelasan berikutnya, Russel meyakini jika pemikiran filsafat itu telah berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran theologi, ilmu, teknologi, dan budaya pada pusat-pusat peradaban kuna semenjak ribuan tahun lalu.
Hipotesa umum yang diyakini para sejarahwan filsafat Timur meyakini bahwa filsafat itu sebenarnya lahir dari dunia Timur. Karena pemikiran keagamaan terkuna dalam sejarah umat manusia lahir, tumbuh, dan berkembaang dari dunia Timur. Mereka meyakini bahwa, “diantara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal dan akhirnya, yang mula-mula berjalin dan berkelindan dengan keyakinan agama.[3]
Filosof muslim meyakini satu legenda yang menceritrakan bahwa para filosof Yunani kuno mengambil kebijksanaan (wisdom: hikmah) mereka dari timur dekat. Empedokles, umpamanya, telah belajar kepada Luqman yang Bijak (Luqman al-Chakiim) di Syra-Palestina, pada masa Nabi Dawud; Phytagoras dilaporkan pernah belajar fisika dan metafisika kepada murid-murid Sulayman di Mesir, dan belajar Geometri dari orang-orang Mesir. Para filosof tersebut membawa kebijaksanaan yang mereka serap dari Dunia Timur ke Yunani. Studi Filsafat Yunani kuno lebih merupakan sebuah renovasi ketimbang inovasi. Memperkuat pendapat di atas, Al-Farabi dalam karyanya Thashil al-Sa’adah berpendapat, “Filsafat telah ada pada zaman kuno di kalangan bangsa Kaldea di Irak. Setelah itu, filsafat dipelajari oleh bangsa Mesir, yang dari masa itulah filsafat ditransfer ke Yunani, dan berkembang di kalangan  mereka yang masih hidup sampai pada masa penyebarannya ke bangsa Suriah, dan kemudian kepada bangsa Arab.[4]
Demikianlah, awal mula pemikiran filsafat yang secara historis lahir dan berkembang di Dunia Timur dan berkembang di Yunani.
2. Perbedaan Pemikiran Yunani dan Arab-Islam
Pemikiran rasional Arab-Islam (filsafat) tidak bersumber atau diimport dari –filsafat- yunani tetapi benar – benar berdasar padan ajaran – ajaran pokok islam sendiri, al-Qur’an dan al-Sunnah. Meski demikian, diakui bahwa rasionalisme tersebut kemudian menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu dengan logika- logika yunani lewat penterjemahan – perterjemahan yang dilakukan.
Pemikiran Yunani, termasuk filsafat menurut catatan para sejarawan, telah mulai dikenal dan dipelajari oleh kaum sarjana dikota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara). Filsafat yunani yang masuk dalam pemikiran islam tidak hanya logika aristoteles, tetapi juga pemikiran mistik neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya model filsafat yang ada dalam islam.
3. Pemikiran – pemikiran Filsafat dari para Filosof Dunia
Al-Kindi : Filsafat Ketuhanan, Creation ex nihilo
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq al-Kindi, adalah filusuf muslim pertama yang menguasi filsafat Yunani. Al-Kindi berasal dari Kindah di Yaman tetapi lahir di Kuffah (Iraq) tahun 796 M. Ibnu Nadim, seorang pustakawan, menyebutkan bahwa al-Kindi memliki 242 karya dalam bidang logika, metafisika, aritmetika, falak, musik, astrologi, deometri, kedokteran, politik, dsb. Ibnu Nadim pun menyebutkan bahwa al-Kindi tidak hanya berkenaan dengan kajian  filsafat Yunani, tetapi juga mencakup studi mengenai agama India, Chaldean, dan Harran. Semua tulisan al-Kindi menunjukan komitemennya terhadap jalan filsafat dan wacana rasional. Diantara karya al-Kindi yang menunjukan komitmennya itu adalah al-Hatsts ‘ala Ta’allum al-Falasifah, Anujuran Untuk Belajar Filsasat, yang terilhami oleh karya Aristoteles Protepticus, atau karya Cicero Hamlichus dan Hosrtenicus.[5]
Al-Kindi membagi pengetahuan ke dalam dua bagian; Pertama, ‘ilm Ilahiy (Pengetahuan Ilahiyah), sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an: yaitu Wahy, pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Allah. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan; kedua, ‘ilm Insaniy, (pengetahuan manusiawi) atau filsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Al-Kindi meyakini peran penting filsafat dalam mendampingi agama. Menurutnya, kebenaran wahy (yang disampaikan nabi Muhammad yang diterima dari Allah), bisa dibuktikan melalui pijakan-pijakan rasional. Karena, untuk memahami tujuan Nabi Muhammad dalam al-Qur’an diperlukan penafsiran atau penjajakan atas makna taksa (ambigous) yang terkandung dalam beberapa ayat al-Qur’an dengan sikap seperti “orang-orang yang beragama dan berakal-budi yang benar”. Dengan prinsip kesesuaian wahy dan ‘aql ini al-Kindi mempelopori dikembangkannya penafsiran hermeneutis (ta’wil) pada ayat-ayat taksa dalam al-Qur’an.
Tuhan Yang Maha Esa menjadi topik utama. Al-Kindi meyakini Tuhan Yang Maha Esa, Abadi, Nirbatas (tak memiliki jenis atau spesies), Nirwikara (tak mengalami perubahan yang mengurangi kesempurnaan). Tuhan itu wujud. Wujud itu tidak terbatasi oleh dan tidak terkungkung dalam ruang dan waktu. Keesaan Tuhan adalah mutlak, kemutlakannya adalah penyebab bagi semua yang ada (mawjud). Semua yang mawjud bermula dari ke-satu-an Yang Maha Esa. Tanpa kesatuan, takan ada satu apa pun. Akibat ke-satu-an inilah segala sesuatu menjadi ada.
Tesis al-Kindi adalah, Sang Maha Esa adalah sumber dari segala sesuatu. Al-Kindi mengikuti konsep emanasi seperti penulis Theologyi, Aritoteles atau Plotonius. Al-Kindi mengikuti konsep penciptaan dari ketiadaan (creation ex nihilo) sebagaimana dipahaminya dalam al-Qur’an. Al-Kindi mengajukan serangkaian argumentasi yang logis dan matematis untuk membuktikan bahwa waktu dan gerak bersifat terbatas, atau dikenal sebagai argumen “kesementaraan alam”. Mengenai argumen ini al-Kindi berkomentar, “mustahil ada  benda-benda alam yang abadi. Segenap benda niscaya bermula (muhdats). Dan yang bermula, niscaya tercipta dalam waktu (muhdits)... Oleh karena itu, alam niscaya memiliki pencipta, bermula dalam waktu, dan ex nihilo  
Demikianlah, intisari dari pemikiran metafisika al-Kindi. Dimana, dibalik orisinalitas pemikirannya, al-Kindi masih terpengaruhi oleh filsafat Yunani.
Al-Farabi : Filsafat Emanasi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibn Auzalagh Al-Farabi adalah Filosof Islam pertama yang sangat sistematis dalam membangun dasar-dasar neoplatonisme Islam. Tiga bidang ilmu yang memikat hati al-Farabi adalah logika, filsafat, politik dan metafisika. Karya al-Farabi yang paling orisinal adalah dibidang logika yang berjudul al-Faz al-Musta’malah fi al-Manthiq (istilah-istilah logika), al-Fushul al-Khamsah (lima pasal logika), dan Risalah fi Manthiq (pengantar logika).
Substansi filsafat al-Farabi terlihat pada karyanya yang paling terkenal, Mabadi’ Aara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (dasar-dasar Pandangan Penduduk “Kota Utama”). Filsafat al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Mahasatu?. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi (pancaran).
Dalam pandangan al-Farabi, Wujud Pertama mestilah bersifat; (1). Sempurna, bebas dari segala kekurangan sehingga Dia tidak terdahuli dan terungguli; (2). Abadi, tak mengalami kehampaan (privation), kebisaadaan (contongency), dan potensialitas; (3). Buka gabungan dari materi dan bentuk; (4). Tak bergantung atau swa-ada. Dia mustahil ada yang menyekutui-Nya. Sebagai Zat yang sama sekali mujarad (immaterial). Dia adalah “‘aql yang senantiasa beraksi”. Dia adalah apa yang ada dalam Pikiran-Nya. Emanasi “menurun” terjadi sesuai dengan prinsip penyurutan (regresion) dan penyusutan (devolusion). Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al-Wujud al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (al-Wujud al-Tsaniy) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal pertama (al-‘Aql al-Awwal),yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga (al-Wujud al-Tsalits).
Wujud kedua atau akal pertama berpikir tentang dirinya dari situ munculah langit pertama. Wujud ketiga atau akal kedua munculah bintang-bintang. Berlanjut, Akal ketiga (saturnus), akal keempat (jupiter), akal kelima (Mars), akal keenam (matahari), akal ketujuh (venus), akal kedelapan (mercury), akal kesembilan (bulan), dan para pemikiran wujud kesebelas/akal kesepuluh berhentilah timbulnya aka-akal. Tetapi akal kesepuluh timbullah bumi beserta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur; api, udara, air dan tanah.
Proses kejadian benda-benda fisik berbeda dengan emanasi intelektual. Benda-benda fisik bermula dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi secara menyempurna dan evolusioner. Dari materi primer, empat elemen kehidupan menjelma. Kemudian empat elemen kehidupan itu mengendap sebagai mineral, lantas meriap sebagai tumbuh-tumbuhan, dan meregang sebagai hewan sehingga puncaknya terwujudlah manusia.
Penjabaran al-Farabi menyangkut emanasi (benda-benda) bumi (terrestrial) dari (benda-benda) langit (calestial) melalui bukti adanya materi utama atau materi umum pada segenap entitas bumi yang beremanasi dari elemen umum yang terdapat pada benda-benda langit. Pemikiran ini mengacu pada konsep aristoteles tentang adanya suatu ether atau elemen “kelima”.
Sebagai puncak proses kejadian fisik, manusia memadukan seluruh elemen primer secara amat kompleks. Kemampuan manusia yang pertama muncul dari panduan ini adalah kemampuan bertumbuh-kembang (nutritive-vegetative). Lalu, dia diikuti kemampuan berindra (sensitive), berhasrat (desirative), berkhayal (imaginative), dan terakhir bernalar (rational). Ada tiga dimensi kemampuan manusia, yakni teoritis, praktis, dan produktif.
Ibnu Sina: Filsafat Kejiwaan
Abu ali Husein ibn abdillah  Ibn sina, lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara di tahun 980 M. Pemikiran terpenting dari Ibnu Sina adalah Filsafat kejiwaan. Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga penganut emanasi.
Ibnu Sina berpendapat, munculnya jiwa atau nyawa (vital principal) sebagai “daya adijasmani” berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh benda-benda langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, kemudian jiwa hewani, diakhiri oleh jiwa manusiawi. Bagian jiwa diterangkan oleh Ibnu Sina sebagai berikut; Pertama, Jiwa Nabati, adalah sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; kedua, Jiwa hewani, sebagai dasar gerak (kehendak) dan penangkapan (idrak) terhadap rangsangan partikular; ketiga, Jiwa manusiawi, sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal universal.
Ibnu Sina pun membagi jiwa berdasarkan dua daya; pertama, Praktis (al-‘amilah) yang berhubungan dengan badan; dan kedua, Teoritis (al-‘alimah) yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Jiwa teoritis mempunyai beberapa tingkatan; (1). Akal materiil (material intelect), semata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit; (2). Akal biasa-belajar, yang telah mulai dilatih untuk berpikir hal yang abstrak. (3). Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah mampu berpikir hal yang bastrak; (4). Akal mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang terlatih, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya dalam akal yang seperti ini; akal seperti inilah yang sanggup menrima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif, dan saat itulah jiwa mencapai kesempurnaannya.
Ibnu Sina berpendapat, jiwa adalah cermin alam pengetahuan (kawruhan) yang memantulkan alam materil. Tahapan ini akan tercapai bila jiwa sudah ketakberhinggaan, menjalin hubungan dengan akal aktif sehingga tak perlu lagi menjalani proses silogistik untuk bisa menangkap hal-hal universal, tetapi cukup dengan inyuisi (hads). Dia mengibaratkan tahap ini sebagai tahap berfungsinya “nalar suci”.
Pancaindera selalu patuh pada kemampuan batin, kemampuan batin selalu patuh pada kemapuan rasional. Sensus Communis yang bertuga merakit data inderawi, tunduk pada daya citra (imaginative power), daya citra tunduk pada daya cipta (productive power), daya cipta tunduk pada daya waham, dan yang terakhir ini  tunduk pada daya tampung daya ingat. Pancaindera yang terangsang oleh daya motif menunjukan bahwasanya marah dan hasrat manusia dapat dengan mudah mengatur “sistem motorik” atau otot manusia.
Al-Farabi : Gagasan & Pemikirannya
Al-Farabi yang lahir pada tahun 259 H./872 M. di Kota Farab yang sekarang dikenal dengan kota Atrar Wilayah Khurasam Turki. Ia adalah sosok filosof muslim yang telah memadukan dua pemikiran filosof Barat, yaitu Plato dan Aristoteles yang dianggapnya sebagai guru pertama, yang kemudian sangat berpengaruh dalam pemikiran selanjutnya. Pemikiran al-Farabi dalam filsafat antara lain :
Tentang Kesatuan Filsafat
Filsafat al-Farabi adalah filsafat “pemaduan” (al-Falasafah al-Taufiqiyyah) sebagai ciri yang sangat menonjol dari filsafat Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan antara filsafat Aristoteles, Plato dan New-Platonisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syi’ah Imamiyyah. Perbedaan pemikiran antara filsof menurut al-Farabi hanya terletak pada lahirnya saja, sedangkan pada substansinya sama yaitu mencari kebenaran, seperti halnya aliran-aliran politik yang bermacam coraknya, tetapi tujuannya sama. Penjelasan ini seperti yang digambarkan oleg al-Farabi dalam kitabnya Al-Jami’u al-Ilahi wa Aristhu-thales (pemaduan antara pemikiran dua filsof: Plato dan Aristoteles). Perbedaan mereka menurut al-Farabi hanya dalam segi lahirnya saja, dan itu kemungkinan hanya dalam tiga kemungkinan, antara lain:
a.       Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar 
b.      Pendapat orang banyak tentang pikiran-pikiran falsafi dari kedua filosof tersebut terlalu dangkal. Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga hanya antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasar-dasar filsafat.
c.       Pengertian kita tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar. Padahal definisi filsafat menurut keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Tentang Metafisika
Masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang pluralis” ini merupakan pembahasan yang menarik di kalangan filosof dan mutakalimin. Pemikiran Al-Farabi tentang Dzat dan Sifat Tuhan, juga tentang ala mini, cenderung seperti pemikiran Mu’tazilah. Ia membagi semu yang ada pada dua bagian, yaitu yang mungkin ada dan yang wajib ada. Yang wajib ada itu dzat Tuhan dan sifat Tuhan, karena kedua tidak terpisah, dan yang mungkin ada adalah alam ini.
Tentang Fisika
Mengikuti pendapatnya Mu’tazilah bahwa alam ini adalah kodim, karena ia telah ada sejak dulu dalam bentuk tertentu sebelum terwujud dalam kenyataan ini. Al-Farabi menjelaskan bahwa alam ini penciptaannya dengan cara emanasi (Faidh). Teori ini diambil dari New-Platonisme yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena limpahan dari yang Esa. Ia menyatakan bahwa alam ini dijadikan secara melimpah (al-faidh), sehingga keesaan Tuhan tidak terganggu, apalagi wujud pertama yang melimpah itu adalah satu, yakni akal.
Tentang Antrophologi
Manusia makhluk terakhir sakaligus termulya,diri manusia terdiri dari dua unsure yaitu jasad dan jiwa. Al-Farabi dalam pemikirannya lebih banyak membahas tentang jiwa manusia yang dianggapnya sebagai hakikat manusia. Dalam hal ini, pemikiran al-Farabi sangat dipengaruhi oleh pemikiran filosof Yunani. Setiap manusia memiliki satu jiwa dan setiap jiwa itu mempunyai sejumlah daya yang umumnya terdiri dari daya penggerak dan daya mengetahui. Daya penggerak memiliki daya menumbuhkan dan daya kerinduan yang menibulkan keinginan pada manusia. Daya mengetahui terbagi pada tiga daya; daya pengindera, daya khayal, daya berpikir. Daya berpikir atau yang disebut akal ini bercabang, ada akal teori dan ada akal amali. Akal teori ini bertingkat; ada akal material (potensial), ada akal actual dan ada akal mustafad.
Tentang Etika
Masalah akhlak merupakan sesuatu yang paling banyak ditulis oleh al-Farabi dalam berbagai kitabnya. Dalam kitab yang berjudul “Risalah fit-Tanb ih ‘Ala Subuli ‘s-Sa’adah” ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh setiap manusia. Segala aktifitas manusia untuk memperoleh kebahagiaan adalah baik dan sangat sempurna. Kebahagiaan adalah summon bonum yang merupakan kebaikan pada dirinya yang dengannya usaha pencapaiannya dijadikan ukuran bagi kebahagiaan.
Akhlak itu, baik yang terpuji maupun yang tercela, dapat diperoleh dengan membiasakan (mumarasah). Jika seseorang tidak memiliki akhlak yang terpuji, ia dapat memperolehnya dengan adat kebiasaan, yakni melakukan sesuatu kerja berulang kali dalam waktu lama dan dalam masa yang berdekatan. Kerja yang baik adalah yang terletak di tengah-tengah, yakni tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan jasad. Dan hal itu dapat ditentukan dengan melihat kepada zaman, tempat dan orang yang melakukan hal itu, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi semua syarat tersebut.
Tentang Politik
Pemikiran politik al-Farabi bermula dari pemikirannya tentang masyarakat sebagai ruang untuk bekerjasama mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Masyarakat dibaginya kepada dua bagian ada masyarakat sempurna atau masyarakat yang cakupannya luas atau besar dan ada masyarakat tidak sempurna, yaitu masyarakat kecil. Masyarakat yang berkumpul dan mempunyai tujuan yang sama, yang dengannya diperoleh kabahagian yang hakiki, ia sebut dengan dengan negara utama. Kepala negara utama memiliki criteria yang cukup kapebel dan kompetibel. Al-Farabi membagi negara kepada lima bentuk negara, diantaranya; Negara Utama (konsep ini berasal dari konsepnya plato), Negara Jahil, Negara Fasik, Negara Sesat, Negara Berubah (Mutabaddilah).
Tentang Teori Kenabian
Al-Farabi merupakan filosof yang telah memadukan teori filsafat dan agama. Al-Farabi juga menganggap bahwa seorang nabi adalah utusan Tuhan yang ditugaskan untuk menyampaikan pesan-Nya melalui wahyu. Dalam pemikiran al-Farabi, filosof, kepala negara, raja, pembuat undang-undang dan imam adalah sama pengertiannya. Agar seseorang mencapai martabat ini, disyaratkan kemampuannya mencapai tingkat “akal mustafad”, sehingga ia dapat berhubungan dengan akal aktif, yakni akal kesepuluh yang juga disebut Jibril. Lewat akal ini, Allah menyampaikan wahyu-Nya kepada orang tersebut. Artinya, akal aktif meneruskan wahyu itu kepada akal pasif melalui akal mustafad dan selanjutnya kepada daya khayal. Wahyu yang melimpah kepada akal pasif, maka orangnya disebut filosof. Sedangkan yang melimpah kepada daya khayal. Ia disebut nabi. Namun demikian, filosof tidak sejajar tingkatnya dengan nabi karena setiap nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof itu nabi. Setiap nabi memiliki keistimewaan yang melebihi filosof.
Al Ghazali (Realitas, Partikuler dan Universal)
Al Ghazali. Lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammaad ibn Muhammad ibn Muhammad Al thusi al-ghazali. Lahirnya di Thus dekat masyad khurasan tahun 450 H/1058 M.
Hasil pemikirannya tentang realitas partikular dan universal :
Dari segi essensial al ghali membagi realitas dalam dua bagian; partikular (juz’iyyat) dan universal (kulliyat). Partikular diklasifikasikan menurut 10 kategori aristoteles, yakni 1 substansi (jauhar) dan 9 aksiden (‘aradhl);   kuantitas, kaulitas, relasi, dimana, kapan, postur, posisi, aksi, dan passi. 10 kategori tersebut benar – benar merupaka realitas objektif yang diketahui, oleh akal maupun indera dan tidak satupun dalam wujud ini yang tidak tercakup didalamnya.
Selanjutnya tentang realitas universal. Al-ghazali membagi dalam 2 bagian;
a.       universal essensial (dzati) yang mencakup genus (jins). Spesies, dan differense.
b.      universal aksidental, baik yang khusus seperti tertawa pada manusia. atau umum seperti bergerak pada materi.
Perbedaan dari keduanya adalah bahwa yang pertama ada dalam konsep mental sekaligus dalam realitas akttual. Sedangkan yang kedua hanya ada dalam konsep mental, tidak ada dalam konsep realitas aktual.
Dengan konsep tersebut, yang dianggap universalisme dalam makna sesungguhnya (primer) adalah yang pertama, sedang universalisme kedua yang hanya ada dalam konsep mental adalah universalisme sekunder. Dengan itu pula konsep universal harus berkaitan dengan realitas  partikular, karena dari partikular – partikular tersebut bisa muncul universal.[6]














DAFTAR PUSTAKA
 Akal dan Wahyui dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LKIS, 2005.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Conection with Political and Social Circumstances from the Earliest Time to The Present. Edisi Indonesia oleh Sigit Sujatmiko dkk., Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2002.
Hassan Hanafi, Muqaddima fi ilm al-Istighrab. Edisi Indonesia oleh M. Najib Buchori, Oksidentalisme: sikap kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina, 2000.
 Hassan Hanafi, Muqaddima fi ilm al-Istighrab. Edisi Indonesia oleh M. Najib Buchori, Oksidentalisme: sikap kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina, 2000.
Joel L. Kraemer,  Humanism in the Renaisance of Islam. Edisi Indonesia oleh Asep Saepullah, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan. Bandung: Mizan, 2003.
 Joel L. Kraemer,  Humanism in the Renaisance of Islam. Edisi Indonesia oleh Asep Saepullah, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan. Bandung: Mizan, 2003.
Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism. Edisi Indonesia oleh Zaimul Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan, 2001.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Intruction: An Intruduction to Contemporary Islamic Philosophy. Edisi Indonesia oleh Musha Kazim dan Saleh Bagir, Buku Dars Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Intruction: An Intruduction to Contemporary Islamic Philosophy. Edisi Indonesia oleh Musha Kazim dan Saleh Bagir, Buku Dars Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997.




[1] Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism. Edisi Indonesia oleh Zaimul Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan, 2001. Hal 1.
[2] Bertrand Russel, History of Western Philosophy and its Conection with Political and Social Circumstances from the Earliest Time to The Present. Edisi Indonesia oleh Sigit Sujatmiko dkk., Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Hal 4
[3] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Intruction: An Intruduction to Contemporary Islamic Philosophy. Edisi Indonesia oleh Musha Kazim dan Saleh Bagir, Buku Dars Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003. Hal 3

[4] Joel L. Kraemer,  Humanism in the Renaisance of Islam. Edisi Indonesia oleh Asep Saepullah, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan. Bandung: Mizan, 2003. hal 25
[5] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, hal 6
[6] Prof. Dr. H.M Amin Abdullah. Wacana baru Filsafat Islam. Pustaka Pelajar hal 87

No comments:

Post a Comment