PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di
Yunani semenjak kira - kira Abad
ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi
akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak
menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini.
Filsuf hanyalah orang
yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam.
Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Dengan makin luas dan
makin bertambahnya pengetahuan kita maka akan terasa pulalah kebutuhan akan
sesuatu pandangan yang
mengenai keseluruhan, yang meliputi semua lapangan, akan suatu sintesa yang mempersatukan berbagai lapangan itu, yang memperlihatkan semuanya dalam suatu pandangan. Dengan perkataan lain akan filsafat
mengenai keseluruhan, yang meliputi semua lapangan, akan suatu sintesa yang mempersatukan berbagai lapangan itu, yang memperlihatkan semuanya dalam suatu pandangan. Dengan perkataan lain akan filsafat
Keinginan untuk
memperdalam dan menyatukan pengetahuan kita ini timbul dari dan sesuai dengan
kodrat manusia. Karena manusia melebihi semua makhluk lainnya, justru karena ia
mempuyai pemikiran, mempunyai jiwa – rohani yang mengatasi kebendaan atau
materi belaka.
Ketika filsafat Islam
dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai
filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali,
dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak
saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga
karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Makalah ini akan membahas pemikiran
filsafat. Yang didalamnya akan dijelaskan hasil – hasil
pemikiran dari filosof – filosof dunia seperti Al Kindi, Ibnu farabi, Ibnu
Sina, Ibnu Rusydi, Al Ghazali.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
awal pemikiran filsafat ?
2.
Bagaiaman
pemikiran yunani dan arab-islam ?
3.
Bagaimana
pemikiran filsafat dari para filosof – filosof dunia ?
PEMBAHASAN
1. Awal
Pemikiran Filsafat
Banyak pendapat yang memaparkan tentang awal
kemunculan pemikiran filsafat. Presfektif historis, yang dijadikan pijakan
dasar dalam pelacakan sejarah filsafat Barat, menuntut bukti nyata atas
kemunculan filsafat. Sejarahwan filsafat Barat berpendapat seragam, bahwa
filsafat dimulai di Yunani.[1]
Hal senada dipaparkan oleh Bertrand Russel dalam karyanya Sejarah
Filsafat Barat, Russel menyatakan bahwa : “Filsafat diawali oleh Thales
yang, untungnya, bisa dilacak masa hidupnya berdasarkan fakta bahwa ia pernah
meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut para astronom terjadi pada
585 SM. Filsafat dan ilmu pengetahuan – yang semula tidak terpisah – dengan
demikian lahir bersama di awal Abad ke 6 SM.”[2]
Meskipun dalam penjelasan berikutnya, Russel
meyakini jika pemikiran filsafat itu telah berkembang seiring dengan
perkembangan pemikiran theologi, ilmu, teknologi, dan budaya pada pusat-pusat
peradaban kuna semenjak ribuan tahun lalu.
Hipotesa umum yang diyakini para sejarahwan
filsafat Timur meyakini bahwa filsafat itu sebenarnya lahir dari dunia Timur.
Karena pemikiran keagamaan terkuna dalam sejarah umat manusia lahir, tumbuh,
dan berkembaang dari dunia Timur. Mereka meyakini bahwa, “diantara corak
pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal dan akhirnya, yang
mula-mula berjalin dan berkelindan dengan keyakinan agama.[3]
Filosof muslim meyakini satu legenda yang
menceritrakan bahwa para filosof Yunani kuno mengambil kebijksanaan (wisdom:
hikmah) mereka dari timur dekat. Empedokles, umpamanya, telah belajar
kepada Luqman yang Bijak (Luqman al-Chakiim) di Syra-Palestina, pada
masa Nabi Dawud; Phytagoras dilaporkan pernah belajar fisika dan metafisika
kepada murid-murid Sulayman di Mesir, dan belajar Geometri dari orang-orang
Mesir. Para filosof tersebut membawa kebijaksanaan yang mereka serap dari Dunia
Timur ke Yunani. Studi Filsafat Yunani kuno lebih merupakan sebuah renovasi
ketimbang inovasi. Memperkuat pendapat di atas, Al-Farabi dalam karyanya Thashil
al-Sa’adah berpendapat, “Filsafat telah ada pada zaman kuno di kalangan
bangsa Kaldea di Irak. Setelah itu, filsafat dipelajari oleh bangsa Mesir, yang
dari masa itulah filsafat ditransfer ke Yunani, dan berkembang di
kalangan mereka yang masih hidup sampai pada masa penyebarannya ke bangsa
Suriah, dan kemudian kepada bangsa Arab.[4]
Demikianlah, awal mula pemikiran filsafat yang
secara historis lahir dan berkembang di Dunia Timur dan berkembang di Yunani.
2. Perbedaan Pemikiran Yunani dan Arab-Islam
Pemikiran rasional Arab-Islam (filsafat) tidak
bersumber atau diimport dari –filsafat- yunani tetapi benar – benar berdasar
padan ajaran – ajaran pokok islam sendiri, al-Qur’an dan al-Sunnah. Meski
demikian, diakui bahwa rasionalisme tersebut kemudian menjadi lebih berkembang
pesat setelah bertemu dengan logika- logika yunani lewat penterjemahan –
perterjemahan yang dilakukan.
Pemikiran Yunani, termasuk filsafat menurut
catatan para sejarawan, telah mulai dikenal dan dipelajari oleh kaum sarjana
dikota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara). Filsafat
yunani yang masuk dalam pemikiran islam tidak hanya logika aristoteles, tetapi
juga pemikiran mistik neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari
beragamnya model filsafat yang ada dalam islam.
3. Pemikiran – pemikiran Filsafat dari para Filosof Dunia
Al-Kindi : Filsafat Ketuhanan, Creation ex nihilo
Abu Yusuf Ya’kub ibn
Ishaq al-Kindi, adalah filusuf muslim pertama yang menguasi filsafat Yunani.
Al-Kindi berasal dari Kindah di Yaman tetapi lahir di Kuffah (Iraq) tahun 796
M. Ibnu Nadim, seorang pustakawan, menyebutkan bahwa al-Kindi memliki 242 karya
dalam bidang logika, metafisika, aritmetika, falak, musik, astrologi, deometri,
kedokteran, politik, dsb. Ibnu Nadim pun menyebutkan bahwa al-Kindi tidak hanya
berkenaan dengan kajian filsafat Yunani, tetapi juga mencakup studi
mengenai agama India, Chaldean, dan Harran. Semua tulisan al-Kindi menunjukan
komitemennya terhadap jalan filsafat dan wacana rasional. Diantara karya
al-Kindi yang menunjukan komitmennya itu adalah al-Hatsts ‘ala Ta’allum
al-Falasifah, Anujuran Untuk Belajar Filsasat, yang terilhami oleh karya
Aristoteles Protepticus, atau karya Cicero Hamlichus dan Hosrtenicus.[5]
Al-Kindi membagi
pengetahuan ke dalam dua bagian; Pertama, ‘ilm Ilahiy (Pengetahuan
Ilahiyah), sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an: yaitu Wahy, pengetahuan
langsung yang diperoleh Nabi dari Allah. Dasar pengetahuan ini adalah
keyakinan; kedua, ‘ilm Insaniy, (pengetahuan manusiawi) atau filsafat.
Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Al-Kindi meyakini peran
penting filsafat dalam mendampingi agama. Menurutnya, kebenaran wahy
(yang disampaikan nabi Muhammad yang diterima dari Allah), bisa dibuktikan
melalui pijakan-pijakan rasional. Karena, untuk memahami tujuan Nabi Muhammad
dalam al-Qur’an diperlukan penafsiran atau penjajakan atas makna taksa (ambigous)
yang terkandung dalam beberapa ayat al-Qur’an dengan sikap seperti “orang-orang
yang beragama dan berakal-budi yang benar”. Dengan prinsip kesesuaian wahy
dan ‘aql ini al-Kindi mempelopori dikembangkannya penafsiran hermeneutis
(ta’wil) pada ayat-ayat taksa dalam al-Qur’an.
Tuhan Yang Maha Esa
menjadi topik utama. Al-Kindi meyakini Tuhan Yang Maha Esa, Abadi, Nirbatas
(tak memiliki jenis atau spesies), Nirwikara (tak mengalami perubahan yang
mengurangi kesempurnaan). Tuhan itu wujud. Wujud itu tidak terbatasi
oleh dan tidak terkungkung dalam ruang dan waktu. Keesaan Tuhan adalah mutlak,
kemutlakannya adalah penyebab bagi semua yang ada (mawjud). Semua yang mawjud
bermula dari ke-satu-an Yang Maha Esa. Tanpa kesatuan, takan ada satu
apa pun. Akibat ke-satu-an inilah segala sesuatu menjadi ada.
Tesis al-Kindi adalah,
Sang Maha Esa adalah sumber dari segala sesuatu. Al-Kindi mengikuti konsep
emanasi seperti penulis Theologyi, Aritoteles atau Plotonius. Al-Kindi
mengikuti konsep penciptaan dari ketiadaan (creation ex nihilo) sebagaimana
dipahaminya dalam al-Qur’an. Al-Kindi mengajukan serangkaian argumentasi
yang logis dan matematis untuk membuktikan bahwa waktu dan gerak bersifat
terbatas, atau dikenal sebagai argumen “kesementaraan alam”. Mengenai argumen
ini al-Kindi berkomentar, “mustahil ada benda-benda alam yang abadi.
Segenap benda niscaya bermula (muhdats). Dan yang bermula, niscaya
tercipta dalam waktu (muhdits)... Oleh karena itu, alam niscaya memiliki
pencipta, bermula dalam waktu, dan ex nihilo”
Demikianlah, intisari
dari pemikiran metafisika al-Kindi. Dimana, dibalik orisinalitas pemikirannya,
al-Kindi masih terpengaruhi oleh filsafat Yunani.
Al-Farabi : Filsafat Emanasi
Nama lengkapnya Abu
Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibn Auzalagh Al-Farabi adalah Filosof
Islam pertama yang sangat sistematis dalam membangun dasar-dasar neoplatonisme
Islam. Tiga bidang ilmu yang memikat hati al-Farabi adalah logika, filsafat,
politik dan metafisika. Karya al-Farabi yang paling orisinal adalah dibidang
logika yang berjudul al-Faz al-Musta’malah fi al-Manthiq
(istilah-istilah logika), al-Fushul al-Khamsah (lima pasal logika), dan Risalah
fi Manthiq (pengantar logika).
Substansi filsafat
al-Farabi terlihat pada karyanya yang paling terkenal, Mabadi’ Aara’ Ahl
al-Madinah al-Fadhilah (dasar-dasar Pandangan Penduduk “Kota Utama”).
Filsafat al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari
Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari
arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian
hakikat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang
Mahasatu?. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi (pancaran).
Dalam pandangan
al-Farabi, Wujud Pertama mestilah bersifat; (1). Sempurna, bebas dari segala
kekurangan sehingga Dia tidak terdahuli dan terungguli; (2). Abadi, tak
mengalami kehampaan (privation), kebisaadaan (contongency), dan potensialitas;
(3). Buka gabungan dari materi dan bentuk; (4). Tak bergantung atau swa-ada.
Dia mustahil ada yang menyekutui-Nya. Sebagai Zat yang sama sekali mujarad (immaterial).
Dia adalah “‘aql yang senantiasa beraksi”. Dia adalah apa yang ada dalam
Pikiran-Nya. Emanasi “menurun” terjadi sesuai dengan prinsip penyurutan (regresion)
dan penyusutan (devolusion). Tuhan sebagai akal, berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan
wujud pertama (al-Wujud al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul wujud
kedua (al-Wujud al-Tsaniy) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut
Akal pertama (al-‘Aql al-Awwal),yang tak bersifat materi. Wujud kedua
ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga
(al-Wujud al-Tsalits).
Wujud kedua atau akal
pertama berpikir tentang dirinya dari situ munculah langit pertama. Wujud
ketiga atau akal kedua munculah bintang-bintang. Berlanjut, Akal ketiga
(saturnus), akal keempat (jupiter), akal kelima (Mars), akal keenam (matahari),
akal ketujuh (venus), akal kedelapan (mercury), akal kesembilan (bulan), dan
para pemikiran wujud kesebelas/akal kesepuluh berhentilah timbulnya aka-akal.
Tetapi akal kesepuluh timbullah bumi beserta roh-roh dan materi pertama yang
menjadi dasar dari keempat unsur; api, udara, air dan tanah.
Proses kejadian benda-benda
fisik berbeda dengan emanasi intelektual. Benda-benda fisik bermula dari yang
paling rendah sampai yang paling tinggi secara menyempurna dan evolusioner.
Dari materi primer, empat elemen kehidupan menjelma. Kemudian empat elemen
kehidupan itu mengendap sebagai mineral, lantas meriap sebagai tumbuh-tumbuhan,
dan meregang sebagai hewan sehingga puncaknya terwujudlah manusia.
Penjabaran al-Farabi
menyangkut emanasi (benda-benda) bumi (terrestrial) dari (benda-benda) langit
(calestial) melalui bukti adanya materi utama atau materi umum pada segenap
entitas bumi yang beremanasi dari elemen umum yang terdapat pada benda-benda
langit. Pemikiran ini mengacu pada konsep aristoteles tentang adanya suatu ether
atau elemen “kelima”.
Sebagai puncak proses
kejadian fisik, manusia memadukan seluruh elemen primer secara amat kompleks.
Kemampuan manusia yang pertama muncul dari panduan ini adalah kemampuan
bertumbuh-kembang (nutritive-vegetative). Lalu, dia diikuti kemampuan
berindra (sensitive), berhasrat (desirative), berkhayal (imaginative),
dan terakhir bernalar (rational). Ada tiga dimensi kemampuan manusia,
yakni teoritis, praktis, dan produktif.
Ibnu Sina: Filsafat Kejiwaan
Abu ali Husein ibn
abdillah Ibn sina, lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat
Bukhara di tahun 980 M. Pemikiran terpenting dari Ibnu Sina adalah Filsafat
kejiwaan. Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga penganut emanasi.
Ibnu Sina berpendapat,
munculnya jiwa atau nyawa (vital principal) sebagai “daya adijasmani”
berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh
benda-benda langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, kemudian jiwa
hewani, diakhiri oleh jiwa manusiawi. Bagian jiwa diterangkan oleh Ibnu Sina
sebagai berikut; Pertama, Jiwa Nabati, adalah sebagai dasar pertumbuhan
dan reproduksi; kedua, Jiwa hewani, sebagai dasar gerak (kehendak) dan
penangkapan (idrak) terhadap rangsangan partikular; ketiga, Jiwa
manusiawi, sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal universal.
Ibnu Sina pun membagi
jiwa berdasarkan dua daya; pertama, Praktis (al-‘amilah)
yang berhubungan dengan badan; dan kedua, Teoritis (al-‘alimah) yang
berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Jiwa teoritis mempunyai beberapa
tingkatan; (1). Akal materiil (material intelect), semata mempunyai
potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit; (2). Akal
biasa-belajar, yang telah mulai dilatih untuk berpikir hal yang abstrak. (3).
Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah mampu berpikir hal yang
bastrak; (4). Akal mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir
tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang terlatih,
sehingga hal-hal yang abstrak selamanya dalam akal yang seperti ini; akal
seperti inilah yang sanggup menrima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif,
dan saat itulah jiwa mencapai kesempurnaannya.
Ibnu Sina berpendapat, jiwa
adalah cermin alam pengetahuan (kawruhan) yang memantulkan alam materil.
Tahapan ini akan tercapai bila jiwa sudah ketakberhinggaan, menjalin hubungan
dengan akal aktif sehingga tak perlu lagi menjalani proses silogistik untuk
bisa menangkap hal-hal universal, tetapi cukup dengan inyuisi (hads).
Dia mengibaratkan tahap ini sebagai tahap berfungsinya “nalar suci”.
Pancaindera selalu
patuh pada kemampuan batin, kemampuan batin selalu patuh pada kemapuan
rasional. Sensus Communis yang bertuga merakit data inderawi, tunduk
pada daya citra (imaginative power), daya citra tunduk pada daya cipta (productive
power), daya cipta tunduk pada daya waham, dan yang terakhir
ini tunduk pada daya tampung daya ingat. Pancaindera yang terangsang oleh
daya motif menunjukan bahwasanya marah dan hasrat manusia dapat dengan mudah
mengatur “sistem motorik” atau otot manusia.
Al-Farabi : Gagasan & Pemikirannya
Al-Farabi yang lahir
pada tahun 259 H./872 M. di Kota Farab yang sekarang dikenal dengan kota Atrar
Wilayah Khurasam Turki. Ia adalah sosok filosof muslim yang telah memadukan dua
pemikiran filosof Barat, yaitu Plato dan Aristoteles yang dianggapnya sebagai
guru pertama, yang kemudian sangat berpengaruh dalam pemikiran selanjutnya.
Pemikiran al-Farabi dalam filsafat antara lain :
Tentang Kesatuan
Filsafat
Filsafat al-Farabi
adalah filsafat “pemaduan” (al-Falasafah al-Taufiqiyyah) sebagai ciri
yang sangat menonjol dari filsafat Islam. Pemikirannya merupakan pemaduan
antara filsafat Aristoteles, Plato dan New-Platonisme dengan pemikiran Islam
yang bercorak aliran Syi’ah Imamiyyah. Perbedaan pemikiran antara filsof
menurut al-Farabi hanya terletak pada lahirnya saja, sedangkan pada
substansinya sama yaitu mencari kebenaran, seperti halnya aliran-aliran politik
yang bermacam coraknya, tetapi tujuannya sama. Penjelasan ini seperti yang
digambarkan oleg al-Farabi dalam kitabnya Al-Jami’u al-Ilahi wa
Aristhu-thales (pemaduan antara pemikiran dua filsof: Plato dan
Aristoteles). Perbedaan mereka menurut al-Farabi hanya dalam segi lahirnya
saja, dan itu kemungkinan hanya dalam tiga kemungkinan, antara lain:
a. Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak
benar
b. Pendapat orang banyak tentang pikiran-pikiran
falsafi dari kedua filosof tersebut terlalu dangkal. Adanya kekeliruan dalam
pengetahuan orang-orang yang menduga hanya antara keduanya terdapat perbedaan
dalam dasar-dasar filsafat.
c. Pengertian kita tentang adanya perbedaan antara
keduanya tidak benar. Padahal definisi filsafat menurut keduanya tidaklah
berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Tentang Metafisika
Masalah hubungan “Yang
Esa” dengan “alam yang pluralis” ini merupakan pembahasan yang menarik di
kalangan filosof dan mutakalimin. Pemikiran Al-Farabi tentang Dzat dan Sifat
Tuhan, juga tentang ala mini, cenderung seperti pemikiran Mu’tazilah. Ia
membagi semu yang ada pada dua bagian, yaitu yang mungkin ada dan yang wajib
ada. Yang wajib ada itu dzat Tuhan dan sifat Tuhan, karena kedua tidak
terpisah, dan yang mungkin ada adalah alam ini.
Tentang Fisika
Mengikuti pendapatnya
Mu’tazilah bahwa alam ini adalah kodim, karena ia telah ada sejak dulu dalam
bentuk tertentu sebelum terwujud dalam kenyataan ini. Al-Farabi menjelaskan
bahwa alam ini penciptaannya dengan cara emanasi (Faidh). Teori ini
diambil dari New-Platonisme yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena
limpahan dari yang Esa. Ia menyatakan bahwa alam ini dijadikan secara melimpah
(al-faidh), sehingga keesaan Tuhan tidak terganggu, apalagi wujud
pertama yang melimpah itu adalah satu, yakni akal.
Tentang Antrophologi
Manusia makhluk
terakhir sakaligus termulya,diri manusia terdiri dari dua unsure yaitu jasad
dan jiwa. Al-Farabi dalam pemikirannya lebih banyak membahas tentang jiwa
manusia yang dianggapnya sebagai hakikat manusia. Dalam hal ini, pemikiran
al-Farabi sangat dipengaruhi oleh pemikiran filosof Yunani. Setiap manusia
memiliki satu jiwa dan setiap jiwa itu mempunyai sejumlah daya yang umumnya
terdiri dari daya penggerak dan daya mengetahui. Daya penggerak memiliki daya
menumbuhkan dan daya kerinduan yang menibulkan keinginan pada manusia. Daya
mengetahui terbagi pada tiga daya; daya pengindera, daya khayal, daya berpikir.
Daya berpikir atau yang disebut akal ini bercabang, ada akal teori dan ada akal
amali. Akal teori ini bertingkat; ada akal material (potensial), ada akal
actual dan ada akal mustafad.
Tentang Etika
Masalah akhlak
merupakan sesuatu yang paling banyak ditulis oleh al-Farabi dalam berbagai
kitabnya. Dalam kitab yang berjudul “Risalah fit-Tanb ih ‘Ala Subuli
‘s-Sa’adah” ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh
kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh
setiap manusia. Segala aktifitas manusia untuk memperoleh kebahagiaan adalah
baik dan sangat sempurna. Kebahagiaan adalah summon bonum yang merupakan
kebaikan pada dirinya yang dengannya usaha pencapaiannya dijadikan ukuran bagi
kebahagiaan.
Akhlak itu, baik yang
terpuji maupun yang tercela, dapat diperoleh dengan membiasakan (mumarasah).
Jika seseorang tidak memiliki akhlak yang terpuji, ia dapat memperolehnya
dengan adat kebiasaan, yakni melakukan sesuatu kerja berulang kali dalam waktu
lama dan dalam masa yang berdekatan. Kerja yang baik adalah yang terletak di
tengah-tengah, yakni tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan jasad. Dan
hal itu dapat ditentukan dengan melihat kepada zaman, tempat dan orang yang
melakukan hal itu, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang
memenuhi semua syarat tersebut.
Tentang Politik
Pemikiran politik
al-Farabi bermula dari pemikirannya tentang masyarakat sebagai ruang untuk
bekerjasama mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Masyarakat dibaginya
kepada dua bagian ada masyarakat sempurna atau masyarakat yang cakupannya luas
atau besar dan ada masyarakat tidak sempurna, yaitu masyarakat kecil.
Masyarakat yang berkumpul dan mempunyai tujuan yang sama, yang dengannya
diperoleh kabahagian yang hakiki, ia sebut dengan dengan negara utama. Kepala
negara utama memiliki criteria yang cukup kapebel dan kompetibel. Al-Farabi
membagi negara kepada lima bentuk negara, diantaranya; Negara Utama (konsep ini
berasal dari konsepnya plato), Negara Jahil, Negara Fasik, Negara Sesat, Negara
Berubah (Mutabaddilah).
Tentang Teori Kenabian
Al-Farabi merupakan
filosof yang telah memadukan teori filsafat dan agama. Al-Farabi juga
menganggap bahwa seorang nabi adalah utusan Tuhan yang ditugaskan untuk
menyampaikan pesan-Nya melalui wahyu. Dalam pemikiran al-Farabi, filosof,
kepala negara, raja, pembuat undang-undang dan imam adalah sama pengertiannya.
Agar seseorang mencapai martabat ini, disyaratkan kemampuannya mencapai tingkat
“akal mustafad”, sehingga ia dapat berhubungan dengan akal aktif, yakni akal
kesepuluh yang juga disebut Jibril. Lewat akal ini, Allah menyampaikan
wahyu-Nya kepada orang tersebut. Artinya, akal aktif meneruskan wahyu itu
kepada akal pasif melalui akal mustafad dan selanjutnya kepada daya khayal.
Wahyu yang melimpah kepada akal pasif, maka orangnya disebut filosof. Sedangkan
yang melimpah kepada daya khayal. Ia disebut nabi. Namun demikian, filosof
tidak sejajar tingkatnya dengan nabi karena setiap nabi adalah filosof dan
tidak setiap filosof itu nabi. Setiap nabi memiliki keistimewaan yang melebihi
filosof.
Al Ghazali (Realitas, Partikuler dan Universal)
Al Ghazali. Lengkapnya
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammaad ibn Muhammad ibn Muhammad Al thusi al-ghazali.
Lahirnya di Thus dekat masyad khurasan tahun 450 H/1058 M.
Hasil pemikirannya
tentang realitas partikular dan universal :
Dari segi essensial al
ghali membagi realitas dalam dua bagian; partikular (juz’iyyat) dan
universal (kulliyat). Partikular diklasifikasikan menurut 10 kategori
aristoteles, yakni 1 substansi (jauhar) dan 9 aksiden (‘aradhl); kuantitas, kaulitas, relasi, dimana, kapan,
postur, posisi, aksi, dan passi. 10 kategori tersebut benar – benar merupaka
realitas objektif yang diketahui, oleh akal maupun indera dan tidak satupun
dalam wujud ini yang tidak tercakup didalamnya.
Selanjutnya tentang
realitas universal. Al-ghazali membagi dalam 2 bagian;
a.
universal
essensial (dzati) yang mencakup genus (jins). Spesies, dan
differense.
b.
universal
aksidental, baik yang khusus seperti tertawa pada manusia. atau umum seperti
bergerak pada materi.
Perbedaan dari keduanya
adalah bahwa yang pertama ada dalam konsep mental sekaligus dalam realitas
akttual. Sedangkan yang kedua hanya ada dalam konsep mental, tidak ada dalam
konsep realitas aktual.
Dengan konsep tersebut,
yang dianggap universalisme dalam makna sesungguhnya (primer) adalah yang
pertama, sedang universalisme kedua yang hanya ada dalam konsep mental adalah
universalisme sekunder. Dengan itu pula konsep universal harus berkaitan dengan
realitas partikular, karena dari
partikular – partikular tersebut bisa muncul universal.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Akal dan
Wahyui dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah
Peripatetik. Yogyakarta: LKIS, 2005.
Bertrand Russel, History of Western Philosophy and
its Conection with Political and Social Circumstances from the Earliest Time to
The Present. Edisi Indonesia oleh Sigit Sujatmiko dkk., Sejarah Filsafat
Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 2002.
Hassan Hanafi, Muqaddima fi ilm al-Istighrab.
Edisi Indonesia oleh M. Najib Buchori, Oksidentalisme: sikap kita terhadap
Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina, 2000.
Hassan Hanafi, Muqaddima
fi ilm al-Istighrab. Edisi Indonesia oleh M. Najib Buchori, Oksidentalisme:
sikap kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina, 2000.
Joel L. Kraemer, Humanism in the Renaisance
of Islam. Edisi Indonesia oleh Asep Saepullah, Renaisans Islam:
Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan. Bandung: Mizan,
2003.
Joel L.
Kraemer, Humanism in the Renaisance of Islam. Edisi Indonesia oleh
Asep Saepullah, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada
Abad Pertengahan. Bandung: Mizan, 2003.
Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic
Philosophy, Theology, and Mysticism. Edisi Indonesia oleh Zaimul Am, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan, 2001.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical
Intruction: An Intruduction to Contemporary Islamic Philosophy. Edisi
Indonesia oleh Musha Kazim dan Saleh Bagir, Buku Dars Filsafat Islam.
Bandung: Mizan, 2003.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Intruction: An Intruduction
to Contemporary Islamic Philosophy. Edisi Indonesia oleh Musha Kazim dan
Saleh Bagir, Buku Dars Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam.
Jakarta: Paramadina, 1997.
[1] Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic
Philosophy, Theology, and Mysticism. Edisi Indonesia oleh Zaimul Am, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan, 2001. Hal 1.
[2] Bertrand
Russel, History of Western Philosophy and its Conection with Political and
Social Circumstances from the Earliest Time to The Present. Edisi Indonesia
oleh Sigit Sujatmiko dkk., Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007. Hal 4
[3] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Intruction: An Intruduction
to Contemporary Islamic Philosophy. Edisi Indonesia oleh Musha Kazim dan
Saleh Bagir, Buku Dars Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003. Hal 3
[4] Joel L. Kraemer, Humanism in the Renaisance
of Islam. Edisi Indonesia oleh Asep Saepullah, Renaisans Islam:
Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan. Bandung: Mizan,
2003. hal 25
No comments:
Post a Comment