BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Filsafat bermula dari kata Philos dan
Sophia yang berarti gandrung akan kebenaran. Ciri kegandrungan adalah adanya
upaya yang tak kenal menyerah untuk mengejar sesuatu yang di gandrungi itu.
Demikianlah halya bila gandrung dengan kebenaran.
Filsafat sering disebut sebagai induk
dari sembarang ilmu. Adapun dalam terminology sederhana, filsafat adalah
berfikir. Tapi tidak sembarang berfikir. Melainkan diikat oleh tiga cirri,
yaitu sistematis, radikal, dan universal. Supaya sistematis perlu adanya
disiplin dalam pendekatan, metode, cara dan alat tertentu.
Pendekatan adalah perspektif, yang
menggambarkan posisi kita dalam kaitannya dengan suatu obyek. Sama-sama pergi
ke Surabaya, seseorang yang berada di Banjarmasin dengan seseorang yang ada di
Blitar, jelas memiliki pendekatan yang berbeda. Perbedaan pendekatan ini akan
membedakan pula di dalam memilih metode atau jalan akan ditempuh. Selanjutnya,
perbedaan metode akan membuat beda dalam memilih cara. Perbedaan pendekatan ini
akan membedakan pula di dalam memilih metode atau jalan yang akan ditempuh.
Selanjutnya, perbedaan metode akan membuat beda dalam memilih cara. Perbedaan cara akan membuat beda pula dalam memilih alatnya.
Selanjutnya, perbedaan metode akan membuat beda dalam memilih cara. Perbedaan cara akan membuat beda pula dalam memilih alatnya.
Ia, yang dari Banjarmasin mau ke
Surabaya mungkin akan memilih salah satu dari dua jalan yaitu laut atau udara.
Kalu memilih jalan laut, mungkin dengan cara berenang, atau menumpangi kapal.
Kalau ia menjatuhkan pilihan dengan cara menumpangi kapal, maka ia harus punya
alatnya antara lain uang untuk membeli tiket. Sementara ia yang dari Blitar
akan menempuh jalan yang berbeda. Bukan jalan laut tetapi jalan darat dengan
segala pilihan cara dan alat yang berbeda pula.
Dengan demikian, metode yang
digunakan untuk menempuh perjalanan ke Surabaya berbeda-beda, dan ada banyak
cara tegantung darimana ia pergi. Maka dari itu, mari kita mempelajari metode
filsafat dalam menentukan sesuatu pemikiran, seperti halnya kita mau menuju
kemana dan darimana asal kita, maka akan menemukan banyak cara dan alat untuk
sampai tujuan tersebut.
B.Pokok Masalah
1. Apa definisi Metode Filsafat?
2. Apa saja macam Metode Filsafat?
BAB II
WACANA
A. Metode Filsafat
Istilah metode berasal dari kata
Yunani, methodos yang berarti apa yang ada di sebalik jalan atau cara. Kata
methodos dari akar kata meta (di sebalik) dan hodos
(jalan). Dalam konteks keilmuan, metode berarti cara atau prosedur atau jalan
yang ditempuh dalam rangka mencapai kebenaran. Langkah-langkah itu harus dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah di hadapan akalbudi: runtut,
logis-rasional, dan konsisten. Dengan metode dimaksudkan agar langkah-langkah
pencarian kebenar-an ilmiah dapat dilaksanakan secara tertib dan terarah,
sehingga dapat dicapai hasil optimal.[1]
Filsafat berasal dari kata Philos dan
Sophia yang berarti mencintai kebijakan sebagai suatu ilmu memang berbeda dari
ilmu-ilmu lain. Perbedaannya antara lain mengenai obyeknya, baik material
maupun formal. Obyek materialnya adalah seluruh kenyataan baik yang diinderai
maupun yang bisa dimengerti. Ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lainnya juga
membahas realitas, tetapi hanya sebagaian saja, satu bidang tertentu. Obyek
formalnya yaitu sorotan terhadap obyek material sampai mendalam. Kalau
mengambil terminology Scolastic, filsafat dirumuskan sebagai Scientia per
ultimas causas atau pengetahuan melalui sebab-sebab terakhir. Karena itu jalan
untuk mencapai kesana memang khusus dan itulah yang disebut sebagai metode
filsafat.[2]
B. Macam-macam Metode Filsafat
Ada dua mecam dalam
metode filsafat yang paling dasar, yakni Metode Umum dan Metode Khusus.
1.
Metode Umum
Ada dua pasang metode berpikir :
Deduksi-Induksi dan Analisis-Sintesis.
a.
Metode Induksi
Ialah
suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan
bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus,
kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
Penarikan
kesimpulan secara umum itu adalah sebagai berikut: “Perunggu itu bila
dipanaskan akan memuai, perak bila dipanaskan juga akan memuai, begitu pula
emas dan jenis logam lainya, dengan demikian semua logam bila dipanaskan akan
memuai pula.”
b.
Metode Deduksi
Ialah
suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan
bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atas masalah yang bersifat umum,
kemudian menarik kesimpulan yang bersifat kusus.
Penarikan
kesimpulan secara khusus itu adalah sebagai berikut: “Setiap manusia yang ada
di dunia pasti suatu ketika akan mati, Si Ahmad adalah manusia, atas dasar
ketentuan yang bersifat umum tadi karena Ahmad adalah manusia maka suatu ketika
ia akan mati.”[3]
c.
Metode Analisis
Adalah
jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan
pemerincian terhadap obyek yang diteliti. Metode analisis ini dapat diterapkan
terhadap pengertian-pengertian yang bersifat apriori dan aposteriori. Makna
apriori adalah sifat bahanya diperoleh tidak melalui atau tidak berupa
pengalaman indrawi. Berarti, adanya hanya pikiran manusia. Misalnya dalam
bentuk kontruksi-kontruksi pikiran atau bahkan dalam bentuk citra pikiran
manusia. Makna aposteriori menunjukan pengertian-pengertian mengenai hal-hal
yang ada dan sudah pernah dalam pengalaman manusia kususnya indrawi. Maksutnya
merupakan pengertian-pengertian hal-hal yang dapet diserap oleh panca indra.
Di
dalam filsafat, analisis berarti pemerincian istilah-istilah atau
pendapat-pendapat kedalam bagian-bagianya sedemikian rupa sehingga kita dapat
melakukan pemeriksaan atas arti yang dikandungnya. Maksutnya ialah untuk
memperoleh kejelasan arti yang sebenar-benarnya. Jika berusaha memahami sesuatu
maka kita perlu kejelasan tentang arti yang ingin dipahami.
d.
Metode Sintesis
Adalah
jalan yang dipakai untuk mendapakan ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara
mengumpulkan atau menggabungkan. Metode ini pula bararti cara penanganan
terhadap obyek ilmiah tertentu dengan cara menggabungkan pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh pengetahuan
yang sifatnya baru.
Contoh apabila kita menggambarkan Ahmad
pergi haji ke Mekah berarti, bahwa pada dasarnya baik pengertian yang berupa
subyek maupun yang berupa predikat semua itu merupakan dapat ditangkap oleh
indrawi dan dalam hal ini sesudah kita mengalaminya, misalnya kita melihat
sendiri bahwa Si Ahmad pergi haji ke makkah.
Maksud pokok metode sintesis adalah mengumpulkan semua
pengetahuan yang dapat diperoleh untuk menyusun pandangan dunia. Sintesis
merupakan usaha untuk mencari kesatuan dalam keberagaman.[4]
2.
Metode Khusus
Metode khusus ialah
metode khas tiap-tiap ilmu atau kelompok ilmu. Pada dasarnya setiap ilmu atau
kelompok ilmu memiliki metode khasnya masing-masing. Metode ini berkenaan
dengan “operasi” atau kegiatan “riset” dalam ilmu bersangkutan.
Ada banyak metode khusus diantaranya
adalah :
a.
Metode Kritis-dialektis. Socrates
(470-399 SM), Plato (427-347 SM)
Socrates (470-399 SM)
menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis dan dialektis. Berusaha
menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek analisanya dengan pemeriksaan
yang amat teliti dan terus-menerus. Ia menempatkan dirinya sebagai intelektual
mid wife, yaitu orang yang memberi dorongan agar seseorang bisa melahirkan
pengetahuannya yang tertimbun oleh pengetahuan semunya. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap orang tahu akan hakekat. Jadi Socrates menolong orang untuk melahirkan
pengetahuan hakekat tersebut dengan jalan mengajak dialog yang dilakukan secara
cermat. Dialog ini dilakukan dengan menarik, penuh humor, segar dan sederhana.
Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan terarah. Lawan dialog digiring kearah persoalan, makin lama makin
mendalam kearah intinya.
Socrates dalam hal ini bertindak sebagai bidan
penolong sebuah proses kelahiran. Ia sebagai lawan dialog yang kritis dan
menyenangkan, mengantar orang untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang ada. Kemudian
secara sitematis menyusun dalam suatu batasan pengertian yang mengandung nilai
filosofis.
Plato (427-347 SM) meneruskan
usaha gurunya, mengembangkan lebih lanjut metode Socrates. Dalam dialog Plato,
orang dituntun untuk memahami hakekat objek dengan jalan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara kritis dan mencari rumusan jawaban yang benar.
Metode Socrates dan Plato
ini disebut metode kritis, sebab proses yang terjadi dalam implikasinya adalah
menjernihkan keyakinan-keyakinan orang. Meneliti apakan memiliki kosistensi
intern atau tidak. Prinsip utama dalam metode kritis adalah perkembangan
pemikiran dengan cara mempertemukan ide-ide, interplay antar ide. Sasarannya
adalah yang umum atau batiniah. Akhir dari dialog kritis tersebut adalah
perumusan definisi yang sudah merupakan suatu generalisasi.[5]
b.
Metode Intuitif. plotinos (205-270) dan hendri bergson
(1859-1941)
Intuisi bisa berarti pengenalan terhadap sesuatu secara langsung
atau kemampuan untuk memiliki pengetahuan segera dan langsung tentang sesuatu
tanpa menggunakan rasio. Para filsuf yang menjadi pelopor ini adalah plotinos
(205-270) dan hendri bergson (1859-1941).
Plotinos
mencoba menyusun suatu sintesa dari aneka unsure filsafat yunani. Ia sebenarnya
dipengaruhi cukup kuat oleh pandangan Plato, karena itu ia disebut sebagai
neoplatonisme, tetapi ia juga mengintegrasikan dengan filsafat Aristoteles.
Semua cabang filsafat ia perhatikan kecuali politik.
Soal
yang ia hadapi adalah masalah religious. Ia termasuk seorang mistikus dan
mempunyai pengalaman langsung dan pribadi akan rahasia ilahi. Hanya saja ia
mengemas itu semua secara metafisis dan sistematis serta bukan berdasarkan
wahyu. Metode filsafatnya intuitif atau mistis. Sikap kontemplatif ini meresapi
seluruh metode berfilsafat pada Plotinus. Karna itu filsafatnya bukan hanya
doktrin tetapi merupakan suatu cara hidup (way of life). Hal ini dapat dibandingkan dengan
suatu biara di mana ia dan teman-temannya menghayati suatu hidup religi yang
mendalam.[6]
c.
Metode Skolastik. Thomas
Aquinas (1225-1247)
Metode Skolastik dikembangkan oleh
Thomas Aquinas (1225-1247). Juga disebut metode sintetis deduktif. Metode
berpikir skolastik menunjukan persamaan dengan metode mengajar dalam bentuknya
yang sistematis dan matang. Ada dua prinsip utama dalam metode sekolastik yaitu
Lectio dan Disputatio.
Lectio adalah perkuliahan kritis,
diambil teks-teks dari para pemikir besar yang berwibawa untuk dikaji. Biasanya
diberi interpretasi dan komentar-komentar kritis. Dalam proses inilah bisa
timbul objektifitas metodis yang sangat mendalam terhadap sumbangan otentik
dari para pemikir besar.
Disputatio adalah suatu diskusi
sistematis dan meliputi debat dialegtis yang sangat terarah. Bahannya adalah
soal-soal yang ditemukan dalam teks atau persoalan-persoalan yang muncul dari
teks tersebut. Bentuk perbincangan sangat terarah dan sistematis. Dosen
mengajukan soal-soal yang problematis, kemudian keberatan-keberatan diajukan
oleh seorang mahasiswa, dan seorang mahasiswa senior memberikan
jawaban-jawaban. Kemudian kesimpulan determinatif kembali deberikan oleh dosen,
kesimpulan ini merupakan jawaban-jawaban yang tepat atas persoalan dan
keberatan-keberatan yang diajukan.
Dan dengan metode ini diharapkan
terjadi proses kreatif, terbentuk sikap kritis serta kemampuan berpikir mandiri.
Akhirnya akan lahir pemikiran-pemikiran filsafat.[7]
d.
Metode Geometris. Rene Descartes
(1596-1650)
Rene Descartes (1596-1650) adalah
pelopor filsafat modern yang berusaha melepaskan dari pengaruh filsafat klasik.
Dalam metodenya Descartes mengintegrasikan logika, analisa geometris dan
aljabar dengan menghindari kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari
pemahaman intuitif akan pemecahan soal dan uraian analitis. Mengembalikan soal
itu kehal yang telah diketahui tetapi akan menghasilkan pengetian baru.
Descartes ingin mencari
titik pangkal yang bersifat mutlak dari filsafat dengan menolak atau meragukan
metode-metode dan pengetahuan lain secara prinsipel ia menghasilkan
segala-galanya. Tapi keraguan ini adalah bersifat kritis.
Descartes banyak berpengaruh pada
filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Terutama usaha-usaha pembaharuannya, baik
dalam pemikiran maupun metode ilmiah. Tapi juga banyak kritik ditujukan pada
filsafat dan pembaharuannya.[8]
e.
Metode Transendental. Immanuel
Kant (1724-1804)
Immanuel Kant (1724-1804) dalam
filsafat mengembangkan metode kritis transcendental. Kant berpikir tentang
unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan
unsur-unsur mana yang terdapat dalam rasio manusia. Ia melawan dogmatisme.
Kant tidak mau mendasarkan
pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada. Harus ada pertanggung
jawaban secara kritis. Kant mempertanyakan bagaimana pengenalan objektif itu
mungkin. Harus diketahui secara jelas syarat-syarat kemungkinan adanya
pengenalan dan batas-batas pengenalan itu.
Metodenya merupakan analisa criteria
logis mengenai titik pangkal. Ada pengertian tertentu yang objektif sebagai
titik tolak.
Analisa tersebut dibedakan dalam
beberapa macam:
·
Analisa psikologis. Analisa ini merupakan penelitian
proses atau jalan kegiatan yang factual. Prinsipnya adalah mencari daya dan
potensi yang berperanan. Kemudian memperhatikan peningkatan taraf kegiatan,
inferensi, asosiasi, proses belajar, dsb.
·
Analisa logis. Meneliti hubungan antara unsur-unsur
isi pengertian satu sama lain.
·
Analisa ontologis. Meneliti realitas subjek dan objek
menurut adanya.
·
Analisa kriteriologis. Meneliti relasi formal antara
kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu.
Dalam metode Kant juga
dipergunakan keragu-raguan. Kant meragukan kemungkinan dan kompetensi
metafisik. Metafisik tidak pernah menemukan metode ilmiah yang pasti untuk
memecahkan problemnya.
Filsafat Kant disebut kritisisme.
Metodenya bersifat kritik. Dia mulai dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan
dan batas-batas rasio. Kant memang seorang pembaharu dengan kritik-kritiknya.
Ia membawa perubahan-perubahan tertentu dalam filsafat. Kant memberi alternatif
metode yang relevan.
Metode ini bertitik tolak dari
tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis di selidiki syarat-syarat
apriori bagi pengertian demikian.[9]
f.
Metode Dialektika. George
Wilhelm Friederich Hegel, (1770-1831)
Metode yang dikembangkan oleh Hegel
(George Wilhelm Friederich Hegel, 1770-1831) disebut metode dialektis. Disebut
demikian sebab jalan untuk memahami kenyataan adalah dengan mengikuti gerakan
fikiran atau konsep. Metode teori dan sistem tidak dapat dipisahkan karena
saling menentukan dan keduanya sama dengan kenyataan pula.
Menurut Hegel, struktur didalam
pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan. Dengan syarat kita
mulai berfikir secara benar, kita akan memahami kenyataan sebab dinamika
dinamika fikiran kita akan terbawa.
Dialektis terjadi dalam
langkah-langkah yang dinamakan tesis-antitesis-sintesis. Diungkapkan dalam tiga
langkah: dua pengertian yang bertentangan, kemudian dipertemukan dalam suatu
kesimpulan. Implikasinya adalah dengan
cara kita menentukan titik tolaknya lebih dulu. Kita ambil suatu
pengertian atau konsep yang jelas dan paling pasti. Misalnya konsep tentang
keadilan, kebebasan, kebaikan, dsb. Konsep tersebut dirumuskan secara jelas,
kemudian diterangkan secara mendasar. Dalam proses pemikiran ini konsep yang
jelas dan terbatas ini akan cair dan terbuka. Menjadi titik tegas dan hilang keterbatasannya.
Kemudian pikiran akan dibawa dalam langkah kedua yang berupa
pengingkaran. Konsep atau pemikiran pertama akan membawa konsep yang menjadi
lawannya. Timbullah pengertian ekstrim yang lain. Terjadilah penyangkalan
terhadap pengertian pertama :
· Kebebasan menimbulkan keharusan
· Ada menimbulkan tiada
· Absolute menimbulkan relative
· Aktif menimbulkan pasif.
Konsep yang muncul dalam langkah
kedua inipun akan mengalami perlakuan yang sama dalam langkah pertama.
Dijelaskan, diuraikan, diterangkan, dan diekstrimkan. Kemudian konsep ini akan
terbuka dan menuju konsep ketiga. Langkah ketiga ini merupakan pemahaman baru.
Berujud pengingkaran terhadap pengingkaran.
Jadi selau dinamik.[10]
g.
Metode Analitika
Bahasa. Ludwig
Von Wittgenstein (1889-1951)
Menurut Ludwig Von Wittgenstein
(1889-1951) filsafat adalah hanya merupakan metode Critique of Language.
Analisa bahasa adalah metode netral. Tidak mengandaikan epistemology,
metafisika, atau filsafat. Metode Wittgenstein mempunyai maksud positif dan
negatif. Positif maksudnya bahasa sendirilah yang dijelaskan. Apakah memang
dapat dikatakan dan bagaimanakah dapat dikatakan.
Segi positif diarahkan pada segi
negatif dengan jalan positif mempunyai efek therapeutis (penyembuhan) terhadap
kekeliuran dan kekacauan. Dengan ditampakkan jalan bahasa dan diperlihatkan
sumber-sumber salah paham, orang akan terbuka untuk melihat hal-hal menurut
adanya.bukan dengan mengajukan teori-teori, tidak dengan menetapkan peraturan
bahasa dan juga bukan dengan membuktikan kesalahan ucapan-ucapan yang
dipersoalkan.
Untuk menganalisa makna bahasa,
Wittgenstein mempergunakan teknik-teknik khusus. Wittgenstein membedakan bahasa
dalam unit-unit paling dasar ialah : sesuatu tata bahasa dan susunan logis.
Dalam bahasa struktur logis dan
struktur tata bahasa sering menimbulkan kesulitan. Dua ucapan yang mempunyai
struktur tata bahasa sama, bisa berbeda menurut struktur logisnya. Wittgenstein
mencontohkan kata ‘is’ dalam bahasa inggris bisa berarti sama dengan, bisa
berarti ada.
Konsep nyata dan konsep formal
berbeda. Orang sering terdorong untuk memakai konsep formal. Seakan-akan itu
konsep nyata. Hal ini mengacaukan. Konsep formal hanya merupakan suatu nama,
harus diisi dengan konsep nyata.
Teknik kedua adalah usaha menentukan
bahasa ideal. Bahasa itu bersifat tepat dan logis. Titik tolaknya atom-atom
logis yang paling sederhana. Bahasa mempunyai unit-unit dasariah yang bisa
dijelaskan menurut struktur yang tepat.
Wittgenstein tidak memisahkan bahasa
natural dan bahasa ideal secara tegas. Dan ia memakai beberapa teknik logis
yang khas untuk menentukan hubungan intern antara ucapan-ucapan. Ia menyusun
suatu jenjang kemungkinan benar salah.
Menurut Wittgenstein batas bahasa
juga merupakan batas dunia. Kita hanya bisa bicara mengenai hal-hal didalam
dunia dan didalam pikiran. Tidak dapat keluar dari bahasa dan dunia. Hal-hal
yang dapat dibicarakan dalam bahasa adalah apa yang nyata didalam dunia. Tidak
mungkin bicara hal-hal metafisis, logika psikologi, metafisika dianggap tidak
punya makna. Benar dan salah tidak bisa dipertimbangkan.[11]
BAB III
PENUTUP
A.Analisa
- Makalah
ini singkat yakni hanya sedikit pokok permasalahannya.
- Runtut
dan sistematis, permasalahan mulai dari definisi ke bagian-bagian metode.
- Sedikit
sulit untuk dipahami karena banyak bahasa yang harus ditafsirkan.
- Isi
kurang lengkap, karena belum mengetahui secara utuh.
- Penyajian
menarik, karena sistemtis dalam penyajiannya.
B.Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut
diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Para ahli piker (filosof) dalam melaksanakan
pekerjaannya tidak berbeda dengan cara bekerjanya sebuah pabrik. Bekerjanya
seorangahli piker (filosof) adalah berpikir, yaitu mengadakan kegiatan
kefilsafatan, sedangkan bekerjanya sebuah pabrik menghasilkan proses produksi.
Metode dalam bidnag
filsafat adalah sebagai berikut:
- Metode
umum, meliputi : metode induksi- deduksi, metode analisis- sintesis,
metode kulitatif- kuantitatif
- Metode
khusus meliputi : metode krisis-dialektif, metode intuitif, dan
masih banyak lagi.
Daftar Pustaka
Sutardjo A.
Wiramihardja,2006, pengantar filsafat.PT.Refika Aditama.Bandung.
Sudarto,2002, metodologi
penelitian filsafat.PT RajaGrafindo Persada.Jakarta.
Armada
Riyanto,2004, pengantar filsafat :pendekatan sistematis.UMMpress.Malang.
Jan Hendrik
Rapar,1996.Pengantar Filsafat.Kanisius.yogyakarta.
Anton Bakker,1990.Metodologi Penelitian
Filsafat,Kanisius.Yogyakarta
Philip Febrian, Metode-metode filsafat. http://archepark.wordpress.com.
08/03/2014.
Indah Wahyyuni, metode filsafat.
http://indaahwahyuni.blogspot.com.08/03/2014
[1]
Philip Febrian, Metode-metode filsafat. http://archepark.wordpress.com.
08/03/2014.
[2] Sutardjo
A. Wiramihardja,2006, pengantar filsafat.PT.Refika Aditama.Bandung.hlm 9.
[3] Anton Bakker,1990.Metodologi Penelitian
Filsafat,Kanisius.Yogyakarta.
[4]
Sudarto,2002, metodologi penelitian
filsafat.PT RajaGrafindo
Persada.Jakarta.hlm 43.
[5]
Indah Wahyyuni, metode filsafat. http://indaahwahyuni.blogspot.com.08/03/2014
[6]
Armada Riyanto,2004, pengantar filsafat :pendekatan sistematis.UMMpress.Malang.hlm
47.
[7] Ibid,
49
[8] Ibid,
50
[9] Jan
Hendrik Rapar,1996.Pengantar Filsafat.Kanisius.yogyakarta.hlm 94
[10]
Indah Wahyyuni, metode filsafat. http://indaahwahyuni.blogspot.com.08/03/2014
[11] Ibid,54
No comments:
Post a Comment