BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran mengenai ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, ethika, ekonomi, politik aestetika, dan pngertian yang lain
mengenahi filsafat adalah ilmu mencari kebenaran pertama,ilmu tentang yang
maujud yang diciptakan olehyang maujud, ilmu tentang segala yang ada yang
menunjukan ada yang sebagai penggerak
pertama,ia belum sampai kepada konsepsi adanya tuhan yang menciptakan.
Sejarah pemikiran filsafat layak diketengahkan
agar generasi masa kini dapat memahami berbagai peristiwa besar dalam dunia
pemikiran dan segala perubahannya dalam sepanjang zaman.banyak beberapa orang
besar diantaranya beberapa filosof yang paling menonjol di dunia islam,baik
dibagaian Timur dan bagian Barat. Diantaranya
Al-Kindi, Al-Farobi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dimana ahli filosof mempunyai pandangan mengenai pengertian filsafat secara berbeda-beda.
Al-Kindi, Al-Farobi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dimana ahli filosof mempunyai pandangan mengenai pengertian filsafat secara berbeda-beda.
Disini pemakalah
akan menguraikan sedikit dari salah satu ahli filosof yaitu Al-Farobi,di dalam
bukunya Tahsilus-sa’adah(memperoleh kebahagian). Al-Farobi mengetengahkan kisah
perjalanan filsafat sejak dari bangsa-bangsa kuno sampai orang arab. Sebelum
menganut islam orang arab tidak mengenal filsafat,mereka tidak menaruh
perhatian pada ilmu pengetahuan dan peradaban yang datang dari negeri
tetengganya. Seperti orang Mesir Kuno,Yunani, Babilonia, Kaldan, Persia dan
India. Bagaimana mungkin orang-orang arab mengenal filsafat dan ilmu
pengetahuan, jika kenyataannya mereka tidak menaruh perhatian sama sekali pada
syarat utama yang diperlukan untuk mengabdikan kemajuan fikiran yang mereka
terima dari suatu generasi ke generasi berikutnya sebagai pusaka pemikiran.
Filsafat pindah
ke tangan orang arab setelah islam. Setelah agama baru itu mengantarkan mereka
kedalam kehidupan baru, sebagian besar penduduk wilayah Negara yang seluas itu
beragama islam dan berbicara bahasa arab. Sejak saat itiu sampai sepuluh abad
lamanya kaum muslimin menjadi pengibar panji peradaban dunia, mereka mendalami
berbagai macam Ilmu Pengetahuan, Keahlian, dan
Tehknologi. Semuanya mereka tekuni sehingga menjadi filsafat,
sebagaimana yang dikatakan Al-Farabi, sumber segala hikmah dan induk segala
ilmu. Perkembangan filsafat selama seribu tahun yang lalu itu baru terjadi
setelah orang-orang arab mencurahkan perhatian besar pada berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan setelah mereka memainkan peranan yang sangat menonjol.
Beberapa ahli filsafat
memperbincangkan tentang filsafat islam atau filsafat arab, yang akhirnya
menjadib problema filsafat islam yang diantaranya tentang corak islam atau
corak arab. Dan juga problema filsafat islam yang terpenting diantaranya
Semantik, Tuhan, Alam dan Manusia.
Dan disinilah
yang membuat pemakalah tertarik untuk membahas problema-problema filsafat
islam, yang nantinya akan diuraikan pemakalah dalan bentuk Pokok Masalah dan Wacana. Untuk lebih jelasnya
silahkan baca halaman selanjutnya.
B.
Pokok Masalah
1.
Tuhan, Alam, Manusia. Mengapa menjadi problema filsafat islam yang
terpenting?
2.
Apakah Filsafat itu bercorak islam atau bercorak arab?
3.
Bagaimana para filosof memandang ilmu semantic?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tuhan, Alam, Manusia.
Para filosof
Arab mewarisi dua macam teori khusus mengenai Tuhan dari para filosof Yunani.
Pertama teori Aristoteles yang menyebut Tuhan sebagai “Penggerak yang tidak
bergerak”, yakni Sebab Pertama bagi gerak seluruh alam wujud. Menurut definisi
Aristoteles, pembahasan mengenai soal maujud (eksist) dari segi
eksistensinya dia maujud, dan dari segala maujud yang tertinggi ialah
Yang Maujud Mutlak, yaitu Tuhan. Jadi menurut pemikiran Aristoteles, Tuhan itu maujud
(eksist, ada). Akan tetapi sifat maujud itu, atau istilah a’la Aristoteles itu
bukanlah nama dari nama-nama agung (Al-Asma’ul -Husna) yang terdapat di dalam
Qur’an. Kita mengetahui banyak sekali para ahli fikir Islam yang menolak
penyebutan nama Tuhan, selain yang termaktub di dalam Qur’an. Mereka tidak mau
menyebut Allah dengan nama yang lazim kita gunakan untuk menamai segala sesuatu
yang ada di alam wujud, yang kita pisah menjadi dua unsure, yaitu : Zat
(subtansi) dan sifat (predikat).[1]
Teori yang kedua
adalah Teori Plato dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu teori yang
memandang Allah “Esa”, dan dari Yang Esa itu melimpahlah Al-‘Aqlul-Awwal
(First Mind, Akal Pertama) kemudian An-Nafsul-Kulliyyah (Universal Soul.
Jiwa Keseluruhan) lalu Al-Hayula (Primordial Matter, Benda Pertama,
Natur atau Alam). “Yang Esa” adalah sebutan nama Allah dan termasuk dalam Al-Asma’ul-Husna.
Akan tetapi, “Yang Esa” menurut pengertian metafisik pada dasarnya berbeda
dengan pegertian metafisik eksistensi yang dikumandangkan oleh Aristoteles.
Teori Plato
berbicara tentang “pelimpahan” (faidh), yakni alam itu keluar dari Tuhan
sebagai keharusan, ibarat cahaya keluar dari matahari atau air keluar dari mata
air. Jadi Tuhan tidak mempunyai kelebihan yang berupa kesanggupan mencipta.
Ada pula Teori
Islam yang memisahkan Allah dari Alam. Islam mengajarkan pengertian dasar bahwa
alam diciptakan dari ketiadaan. Pada mulanya alam tidak ada, kemudian menjadi
ada atas kehendak dan perintah Allah. Ini ditegaskan dalam firman-Nya: “ Bila
Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya ‘ jadilah’, maka
terjadilah”. Oleh karena itu semua para ahli ilmu Kalam berpendapat bulat,
bahwa Allah adalah Al-Khaliq atau Maha Pencipta.
Mengenai masalah
tersebut sikap Al-Kindi berbeda dengan sikap Al-Farabi; sikap Al-Farabi berbeda
dengan sikap Ibn Sina; Sedangkan sikap Ibn Rusyd berbeda dengan filosof
sebelumnya.
Teori Al-Kindi
mengenai Tuhan dapat di ringkas sebagai berikut: Allah ialah Al-Wahidatul-Haqq
(Satu Yang Hakiki). Istilah “satu” biasa kita sebut untuk menamakan apa saja.
Baik “satu” dalam kaitannya dengan matematika, dalam kaitannya dengan ilmu
alam, atau dengan segala hal yang ada di alam wujud ini, hanya “satu” dalam
arti majaziy (bukan hakiki). Sedangkan “Satu Yang Hakiki” (Al-Wahidul-Haqq)
ialah “satu menurut subtansinya yang tidak akan menjadi banyak disebabkan oleh
apa pun juga, tidak akan terbagi-bagi dalam bentuk apa pun juga, tidak
disebabkan oleh subtansinya sandiri maupun oleh hal ihwal di luar subtansinya;
tidak bertempat dan tidak berwaktu, tidak membawa dan tidak dibawa, bukan suatu
keseluruhan (Kull) dan bukan suatu bagian (Juz).[2]
Hubungan antara
Allah dan alam adalah hubungan ibda’, hampir sema’na dengan Khalq. Ibda,
berarti menciptakan sesuatu dari ketiadaan (‘adam) disamping menunjukkan arti
“pengurusan” dan “pengaturan” sesuatu yang diciptakan. Al-Kindi mengatakan pada
akhir suratnya (kepada Al-Mu’tasim Billah) sebagai berikut: “Dengan demikian
maka Al-Wahidul-Haqq ialah “Yang Pertana”, “Yang Mencipta” sesuatu dari
ketiadaan dan “Yang Menguasai” segala yang telah diciptakan-Nya. Sesuatu yang
lepas dari kekuasaan-Nya adalah durhaka dan pasti binasa”.
Al-Farabi adalah
filosof pertama yang mempertemukan filsafat Aristoteles dengan filsafat
Neo-Platonisme, mempertemukan filsafat “eksistensi”-nya Aristoteles dengan
filsafat “Yang Satu”-nya Al-Kindi. Menurut pandangan Al-Farabi, Allah adalah Al-Awwal
(pertama) ialah “ Sumber Pertama” bagi seluruh alam wujud dan “Sebab Pertama”
bagi eksistensinya. Al-Farabi menegaskan sifat Allah, bahwa Dia Maha Suci dari
segala bentuk kekurangan. Al-Farabi menyebut Allah dengan sebutan sifat-sifat
yang mempunyai pengertian yang mutlak dan tertinggi, seperti: Maha Maujud, Maha
Esa, Maha Hidup, Maha Sempurna, Maha Adil, Maha Pemurah, dan lain-lain.
Ibn Sina adalah
seorang filosof “eksistensialis”(sealiran dengan Aristoteles). Dalam teori
filsafat ketuhanannya, Ibn Sina menyebut Allah cukup dengan Al-Wajib, sedangkan
Al-Farabi lebih suka menyebut-Nya dengan Al-Awwal. Letak perbedaan
antara dua filosof ini adalah, bahwa Guru Kedua (Al-Farabi) berperan dengan:
Allah sebagai “Sumber Pertama”, sedangkan Ibn Sina berpandangan: Allah sebagai Wajibul
Wujud.
Dengan demikian
jelaslah bahwa Allah adalah Maujud (Ada), tetapi bagaimanakah cara kita
mendefinisikan Maujud itu?
Ibn Sina
menyebut arti Maujud sebagai salah satu pengertian ‘aqli (al-Ma’ani
al-badihiyyah). Mengenahi Ketuhanan, ia mengatakan dalam bukunya yang
berjudul Asy-Syifa sebagai Al-Majud,”Sesuatu”, “Yang Pasti”. Kepastian tentang
Wujudul-Maujud merupakan problema yang harus dipecahkan oleh filsafat.
Bagaimanapun juga kita perlu mengetahui makna sesuatu yang tidak bisa
tidak”pasti ada”(Alwajib-Al-wujud).
Menurut Ibn
Sina, definisi Al-Wajibul-Wujud ialah: “Sesuatu yang ada (maujud) yang jika
ditetapkan “tidak ada” menimbulkan muhal (mustahil). Sesuatu yang “pasti ada”
(Al-Wajibul-Wujud) kepastian adanya bisa disebabkan oleh zatnya sendiri, dan
bisanpula disebabkan oleh adanya yang lain.
Misalnya:
Kebakaran terjadi saat kayu bertemu api. Kebakaran itu terjadi karena adanya
yang lain, yaitu dengan adanya api yang mengandung kekuatan membakar. Dari
penjelasan tersebut maka terdapat tiga penggolongan Al-Wujud, yaitu: Wajibul
Wujud Bilzhati (sesuatu yang kepastian adanya disebabkan oleh dzatnya sendiri),
Wajibul Wujud Bighairihi (sesuatu yang kepastian adanya disebabkan oleh yang
lain), dan Mumkinu Wujud (sesuatu yang bisa ada dan tidak ada, atau mungkin ada
dan mungkin tidak ada).
Pendapat Ibn
Rusyd yaitu: Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah Maujud (Exist), dalam arti
zat-Nya berada di luar diri kita, berarti pula bahwa Tuhan adalah Hakekat
Nyata.
Alam. Kaum
filosof berpegang pada pendapat yang diwarisi dari orang Yunani (Plato dan
Plotinus): bahwa alam adalah qadim (azali). Menurut Plato, alam memang qadim,
tetapi Tuhanlah yang mengaturnya. Tetapi teori di atas bertentangan dengan
Islam, Islam menegaskan, bahwa Tuhan yang menciptakan alam dari ketiadaan, dan
Tuhan Maha Kuasa mengganti ciptaan-Nya dengan ciptaan-Nya yang lain, atau
mengembalikannya lagi seperti semula.
Menurut
Al-Kindi, alam itu mutanahin (berahir). Karena alam itu mutamahin maka ia tidak
azali, sebab yang azali tidak berjenis. Azali (eternal) adalah suatu maujud
(exsist) yang tidak berawal, namun kadang-kadang diartikan juga “tanpa awal dan
tanpa akhir”.
Menurut Ibn
Rusyd, alam ini benar-benar diciptakan dari ketiadaan. Sebagaima`na firman
Allah: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan
singgasana-Nya (‘Arsy-Nya, sebelum itu) di atas air” (Qs. Hud:7). Ayat tersebut
di tafsirkan Ibn Rusyd sebagai berikut: “Sebelum eksistensinya langit dan bumi
telah ada eksistensi yang lain, yaitu singgasa (‘Arsy) dan air, dan sebelum
waktu (penciptaannya) telah ada waktu yang lain…”[3]
Manusia. Terdiri
dari jiwa dan raga. Apa yang dituntut oleh raga dan apa yang dituntut oleh
jiwa, dua-duanya harus dipenuhi, agar manusia selamat di alam ini. Para Filosof
Yunani lebih banyak mencurahkan perhatian pada soal kejiwaan dari pada soal
jasmani. Sebab menurut mereka, manusia pada hakekatnya adalah hewan yang bisa
berbicara, berfikir dan mengerti. Yang membedakan manusia dengan hewan ialah
segi kejiwaannya, yajni akal dan fikiran.
Islam tidak
mengenal adanya perbedaan di antara sesame manusia kecuali atas dasar ketakwaan
kepada Allah dan kebaikan perilaku dalam kehidupan. Dilain fihak, Islam juga
tidak memandang manusia dari segi fikirannya saja, atau dari segi kejiwaannya
saja sehingga melupakan segi jasmaninya. Sebaliknya Islam memandang manusia
sebagai makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani. Segi jasmani mempunyai
tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidup dengan lurus dan
selamat. Segi rohani pun mempunyai tuntutan yang harus di penuhi sehingga
batinnya tenang.
Menurut
Al-Farabi dalam bukunya Al-Madinatul-Fadhilah, “Pada saat terjadinya manusia,
yang pertama-tama terjadi pada diri ialah kekuatan yang membuatnya dapat makan,
yaitu kekuatan makan. Setelah itu terjadilah kekuatan yang membuatnya dapat
merasakan sesuatu yang di raba…”. Kemudian Al-Farabi menyebut berbagai macam
daya indera, seperti: indera perasa, pendengar, penglihat.
Kesempurnaan
manusia terletak pada keberhasilan memperoleh ilmu-ilmu sehingga ia berhak
disebut Manusia Berfikir. Keberhasilannya itu diabdikan pada dua macam tujuan,
yaitu hal-hal yang indah dan bermanfaat. Menurut Al-Farabi, untuk memperoleh
ilmu harus ditempuh dua jalan: pengajaran dan pendidikan. Pengajaran
mengantarkan kita agar dapat mendapat ilmu; dan dengan pendidikan para siswa
dicetak menjadi orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan.
Al-Farabi juga
berpendapat bahwa manusia mencapai kesempurnaan tidak hanya secara individual.
Ia menegaskan bahwa “Manusia tidak mungkin dapat mencapai taraf kesempurnaan
yang diciptakan menurut fitrahnya, kecuali dengan hidup bermasyarakat, saling
membantu dan satu sama lain saling bekerja untuk memenuhi kebutuhan
bersama…Dengan demikian manusia akan berkembang menjadi banyak, dan disitulah
lahir masyarakat manusia”. Jadi, Kebajikan yang paling utama dan kesempurnaan tertinggi
hanya dapat dicapai pertama-tama dengan jalan bermasyarakat.
B.
Bercorak islam atau Bercorak arab
Filsafat adalah
pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia
atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama islam.
Diantara turats (tradisi) Islam yang sangat melimpah, adalah
filsafat Islam. Namun para sejarawan filsafat, khususnya abad ke-20, berbeda
pandangan apakah tradisi filsafat tersebut dinamakan filsafat Islam atau
filsafat Arab—dalam tulisan ini hanya membincang tataran penamaannya saja (tasmiyyah).
Perbedaan dalam penyematan sebuah nama terhadap tradisi filsafat ini terjadi
bukan hanya di kalangan Islam, bahkan juga di kalangan orientalis barat. Dan,
dalam tulisan ini, lebih fokus mengemukakan pandangan orientalis barat terkait
penamaan tersebut.
Dalam
intern orientalis barat terjadi perbedaan apakah tradisi tersebut dikatakan
filsafat Islam atau filsafat Arab. Sebagian mereka, diantaranya Mourice De Wolf
(Profesor di U. Lauven), Brehier (Profesor di U. Sorbonne), berpandangan bahwa
tradisi filsafat tersebut dinamakan filsafat Arab. Argumen mereka, “sebab para
tokoh filsafat tersebut menuliskannya dengan teks-teks Arab”. Titik tekan
mereka lebih pada bahasa bahwa, tumpukan tradisi filsafat tersebut tertuang
dalam bentuk teks-teks Arab.
Ketika
filsafat muncul dalam kehidupan islam,kemudian berkembang sehingga banyak
dibicarakan oleh orang-orang arab,tampillah beberapa filosof seperti
Al-Kindi,Al-Farabi,Ibn Sina dan lain-lain.Kaum sejarawan banyak menulis
berbagai buku tentang kehidupan,pendapat serta pemikiran mereka.Para penulis
buku itu menyebut mereka “kaum filosof islam”.Ada pula yang menamakan “para
filosof beragama islam.”Kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para ahli
hikmah islam”(filsafatul-islam atau al-falasifatul islamiyyin atau
hukums’ul-islam),mengikuti sebutan yang diberikan
Syahrustani,Al-Qifthi,Al-Baihaqi dan lain-lain.
Profesor
Carlo Nillino, terkait apakah nanti dikatakan filsafat Islam atau filsafata
Arab, masuk melalui analisa terhadap kata “Arab”. Sederhananya, kata “Arab”
disamping dapat dimaknai secara hakiki juga bisa dimaknai secara istilah.
Menurutnya, jika kata “Arab” menunjuk pada masa pra Islam dan awal-awal Islam
maka sudah pasti yang dimaksud adalah makna “Arab” secara hakiki, yakni
menunjukkan “umat atau orang-orang penghuni Semenanjung Jazirah Arab”.
Namun, jika
menunjuk pada masa Islam setelah abad pertama Hijriah, maka bisa saja yang
dimaksud adalah makna istilah yang menunjukkan: semua umat dan bangsa yang
berdomisili di bawah pemerintahan Islam yang menggunakan bahasa Arab dalam
banyak karya ilmiah mereka. Jadi, meski asal mereka adalah Persia, India,
Turki, Siria, Mesir, Andalusia dan lainnya jika mereka tinggal di bawah
pemerintahan Islam dan menggunakan bahasa Arab dalam karya-karya ilmiah mereka
maka dikatakan sebagai “Arab”.
Dari
penjelasan singkat Carlo Nallino di atas menjadi cekup terang bahwa lebih
tepatnya, tradisi filsafat ini, bisa dinamakan filsafat Islam di satu sisi,
juga filsafat Arab di sisi yang lain. Tergantung kita bertolak dari titik mana
terkait kata “Arab” di atas: apakah dari makna hakiki kata “Arab” yang berarti
nisbatnya ke umat, atau makna istilahnya yang berarti nisbatnya ke bahasa yang
digunakan dalam tradisi filsafat tersebut.
Sampai di
sini, jika kita cermati argumen kelompok pertama, “sebab para tokoh filsafat
tersebut menuliskannya dalam teks-teks Arab”, menunjukkan bahwa kelompok
pertama ini nampak bertolak dari makna kata “Arab” secara istilah. Sementara
argumen kelompok kedua, “sebab mayoritas besar para tokohnya bukanlah orang
Arab, bahkan non Arab” sehingga tak bisa dikatakan filsafat Arab, menunjukkan
bahwa mereka bertolak dari makna haikiki kata “Arab” yang menunjukkan suatu
umat.
Jika
demikian maka, sebenarnya tak ada pertentangan antara kedua kelompok tadi.
Hanya saja masing-masing bertolak dari titik tolak yang berbeda. Kelompok kedua
tentu tak bisa menyangkal kelompok pertama dengan mengakatan, “kan mayoritas
para tokohnya adalah non Arab, bagaimana bisa dikatakan filsafat Arab?”, sebab
kelompok bertama tak bertolak dari kata “Arab” yang bermakna hakiki (umat).
Begitu pun sebaliknya, kelompok pertama tak bisa menyangkal kelompok kedua
dengan mengatakan, “kan para tokohnya menuliskannya dalam bahasa Arab”, sebab
kelompok kedua tak bertolak dari kata “Arab” secara istilah.
Dari
beberapa perbedaan di atas, Syekh Mushthafa Abdur Raziq berusaha mengemukakan
pandangannya dengan mengatakan: “Menurutku, karena para tokoh filsafat (Islam)
ini telah menciptakan nama sebagai istilah untuk menunjukkan filsafat
ini, maka tak diperkenankan beralih dari istilah ini (mengganti istilah ini
dengan istilah yang lain)… Kita temukan Ibnu Sina (w. 428 H.) dalam kitab: al-Syifâ’
dan kitab al-Najâh menyebutkan ‘al-Mutafasifah al-Islâmiyyah.
Kemudian al-Syahrastani (w. 548 H.) dalam kitabnya: al-Milal wa al-Nihal
menyebutkan dengan ‘falâsifah al-Islâm’ dalam banyak tempat… Kemudian ‘falâsifah
al-Islâm’, dan ‘Hukamâ’ al-Islâm’ dalam kitab Akhbâr al-Hukamâ’ dan
Muqaddimah Ibnu Khaldun.”
Diantara
perkataan al-Syahrastani di atas yang dikutip Syekh Mushthafa Abdur Raziq
adalah; “Dan para filasuf Islam mutaakhir seperti Ya’qub bin Ishaq al-Kindi,
Hunain bin Ishaq…Mereka semua yang menggeluti filsafat di bawah naungan Islam,
baik orang Islam maupun non Islam, disebut para filasuf Islam dan filsafat
merekasecara istilah disebut dengan filsafat Islam…”
Oleh karena
itu, Syekh Mushthafa Abdurr Raziq lebih memilih istilah “filsafat Islam” untuk
menamakan tradisi filsafat tersebut ketimbang istilah filsafat Arab. Yang
penting ia lahir dan berkembang di bawah naungan negara-negara Islam dengan
berbagai tradisi dan sosio kulturnya maka ia dikatakan sebagai filsafat Islam
tanpa memandang agama dan bahasa orangnya. Dari sini nampak Syekh Mushthafa
Abdur Raziq sejalan dengan kelompok kedua di atas yang berargumen mengapa
dikatakan filsafat Islam sebab, “disamping Islam memiliki pengaruh besar dan
jelas dalam pembentukan filsafat terbut juga karena ia lahir di negara-negara
Islam dan di bawah naungan Islam itu sendiri.” Cuma bedanya, Syekh Mushthofa
Abdur Raziq juga berangkat dari pertimbangan bahwa para tokoh filsafat Islam
sendiri telah menyebutnya dengan nama filsafat Islam. Sebagaiamana di atas.[4]
Pembicaraan ini jadi berkepanjangan
jika kami mengutip semua yang di sebutkan oleh mereka yang menenkuni filsafat
tersebut.saya hendak mengakhiri dengan pendapat yang telah saya kemukakan dalam
buku yang saya tulis dalam buku yang saya tulis dalam bahasa inggris berjudul
‘filsafat islam’ saya katakan dalam buku tersebut sebagai berikut;
Orang orang yang mrnyebut
pemikiran itu filsafat arab berasaln
karena pemikiran tersebut ditulis dalam
bahasa arab.dan karena pemikiran filsafat itu pertama kali di tejermahkan dalam
bahasa arab.kemudian disususn oleh para filosof
dan di tambahkan keterangan-keterangan yang dituangkan dalam bahasa
arab..akan tetapi harus di ingat ;penerjemahan filosof yunani ke dalam bahasa
arab tidak cukup di jadikan alas an
untuk menamakannya filsafat arab . sebab berbagai tokoh filsafat pada masa itu
bukanlah orang orang arab,melainkan orang turki,seperti al farabi dan
orang Persia seperti ibnu sina,misalnya.bahkan beberapa filosof menuliskan
karya pemikiran buku merekan dalam bahasa Persia .dengan demikian karya
pemikiran mereka turut membentuk
sebagiandari filsafat yang dinamakan filsafat islam.karena
di
dalamnya terdapat unsure baru yang telah mempengaruhi filsafat yunani,filsafat
iskandariyah dan pandangan filsafat lainnya.itulah filsafat yang diterjemahkan
ke dalam bahasa arab.para filosof pada masa itu berpegang pada pandangan islam
sabagai pedoman dalam usaha mereka mencari persesuaian antara islam.unsur baru
dan pandangan-pandangan filsafat lain .oleh karena itu pemikiran filsafat tersebut kita namakan saja filsafat islam dan
di dalam istilah tersebut tidak mengandung kekisruhan sebagaimana yang
dikatakan oleh sementara orang .
C. Ilmu Semantik
Para filosof arab besar perhatian
nya pada semantik,di satu pihak karena semantik merupaka problema
yang amat berharga dan di pihak lain karna semantic merupakan sarana filsafat .dalam bagian terdahulu kita
telah membicarakan perbedaan ilmu kalam
dalam ilmu filsafat karena masing masing memekai metode yang berbeda .semantik
adalah metode filsafat ,sedangkan metode yang digunakan para ahli ilmu kalam adalah diskusi(al
jadal).
Kita tidak dapat meramalkan kemajuan besar yang dicapai oleh para filosof
arab dalm melakukan studi mengenai ilmu
semantic ,sebab aristoteles sebagai penemu
ilmu tersebut hanya sedikit meninggalkan
sisa persoalan yang masih perlu dibahas.adapun mengenai pokok pokoknya
yang bersifat umum dan urutan problematikanya,para filosof arab telah mengikuti
jalan yang ditempuh guru buku buku itu telah kami sebut dalam pembicaraan tentang zaman penerjemah.
Yang baru ialah mengenai pengaturan
dan penyajian ilmu tersebut secara lengkap dan sempurna sebagai mana yang dapat
kita temukan dalam sebuah buku yang di tulis pada abad ke6 H oleh zainuddin
umar bin sahla assawi dengan judul albasyairu nasyiriah .setelah banyak mempelajari dalil dalil pembuktiannya
,syekh Muhammad abduh sendiri sangat
mengagumi buku tersebut ,lantas ia mnerbitkan dan mengajarkan nya .
Di pihak lain
terdapat beberapa problema yang dibahas para filosof secara mendalam dan digali
kesukaran kesukarannya .barangkali buku semantik asy syifa yang ditulis ibn sina merupakan contoh
terbaik pembahasan semantic secara mendalam.
Alasan yang lain
lagi ialah karna ketekunan para filosof arab dalam mempelajari ilmu pengetahuan
yang kemudian diikuti dengan metoda eksperimen dalam penelitian mengenai
soal-soal alam,berbeda dengan metoda eksperimen mengenai ilmu
semantic.karenanya mereka memperluas pengetahuannya tentang istiqra’[5]
Karena ilmu
semantic adalah sarana atau alat dan senjata bagi filsafat untuk menangkis
argumentasi lawan,dapat dipergunakan untuk menyerang musuh dan ada kalanya di
arahkan juga secara khusus terhadap agama,maka para ahli fiqih islam memandang
simentik sebagai sebab yang menimbulkan kekacauan dalam filsafat dan sekaligus
pula merupakan sebab pokok yang menyelewengkan manusia dari kebenaran dan jalan
yang lurus. Yang mereka maksud dengan “jalan lurus” ialah jalan agama.Atas
dasar itu banyak fakta dikeluarkan untuk mengharamkan kegiatan menekuni ilmu
semantic,sehingga ada pameo mengatakan:Siapa belajar semantic ia menjadi
zindiq(menyimpang dari rel agama).
Pada dasarnya
semantic adalah ilmu pemikiran (‘ilmun dzihniyyun).Bidang kegiatannya hanyalah
dapat dilihat dari adanya persolan yang bersifat pemikiran,dan bukan yang
berada di luar pemikiran,yaitu hanya dapat di bayangkan saja.Atau sebagaimana
yang dikatakan oleh ibnu sina di dalam Al-Madkhal halaman156:”jika kita hendak
memikirkan dan mengetahui sesuatu,tidak bisa lain kita pasty membayangkan
sesuatu itu lebih dulu.Hanya dengan akal fikiran sajalah segala sesuatu dapat
di mengerti atau tidak dapat dimengerti akan tetapi dalam buku-buku yang
ditulisnya belakangan,Ibn Sina mengakui adanya persoalan jenis lain,yaitu
persoalan yang eksistensinya tidak tergantung pada akal fikiran itu sendiri,tetapi
pada pengamatan segala sesuatu yang berada diluar fikiran dan yang keadaanya
senantiasa berubah.
Semantik adalah
cara menyusun dalil atas dasar hal ihwal yang diketahui untuk menarik
kesimpulan tentang masalah yang belum diketahui.Caranya dengan qiyas dan juga
lewat burhan.Para ilmuan arab menaruh perhatian besar pada qiyas.Setiap
pemikiran mereka kembalikan pada sisitem qiyas agar kesimpulannya tetap
bersumber dari hal ihwal yang telah ada sebelumnya.Pada mulanya filosof arab
mengarahkan pandangan mereka pada usaha menemukan dalil-dalil aksioma untuk
dijadikan burhan yang baik.
Dalil-dalil
aksioma bagi qiyas bermacam-macam, diantaranya: kenyataan-kenyataan konkrit,
pengalaman,gambaran pemikiran,berita-berita terpercaya,gagasan sesuatu yang
dikenal umum, sesuatu yang dapat diperkirakan, sesuatu yang dapat diterima
akal, awwaliyat [6]dan
sebagainya.
Pembuktian
adalah cara untuk memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan menurut pandangan ahli
semantic,eksperimen tidak mungkin dapat mencapai martabat setinggi pembuktian
yang meyakinkan,karena eksperimen hanya ddasarkan pada beberapa juz’iyyat (hal
ihwal yang bersifat bagian atau partial) yang mengandung kekurangan dan
kekeliruan.
Para filosof
juga berpendapat bahwa semantic dapat dijadikan alat yang berguna untuk
menyusun dalil pembuktian tentang ekstensi tuhan,yaitu alat aqriyah.akan tetapi
al-ghozali menolak dan mengingkari pendapat mereka,karna ia beranggapan bahwa
pengenalan kepada allah berada diluar lingkaran akal.mengenal allah tidak bisa
lain harus melalui cara yang lebih tinggi,yaitu ilham dan itu dapat dicapai
dengan jalan tasauf.
BAB
III
PENUTUP
A. ANALISA
1)
Materi ini sedikit sulit untuk di pahami, karena banyak istilah-istilah
yang baru pemakalah temui.
2)
Materi ini memiliki daya tarik sehingga pemakalah dan pembaca tertarik
untuk membaca mengenahi problem filsafat.
3)
Problem filsafat disini sangat bermanfaat, karena pembaca dapat
mengetahui teori-teori tentang Tuhan, Manusia, dan Alam oleh para filosof
Yunani dan Islam.
B.
KESIMPULAN
1.
Hubungan antara Allah dan alam adalah Ibda’ (menciptakan sesuatu dari
ketiadaan)
2.
Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Dimana apa yang di tuntut oleh jiwa
dan raga harus dipenuhi, agar selamat di alam ini.
3.
Semantic adalah sarana atau alat dan senjata bagi filsafat untuk
menangkis argumentasi lawan,dapat dipergunakan untuk menyerang musuh dan ada
kalanya di arahkan juga secara khusus terhadap agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.Ahmad Fuad
Al-Ahwani,1988,Filsafat islam,PT.Abadi Jakarta
Prof.Dr.H.Abu bakar Aceh, 1970-1982,
Sejarah Filsafat Islam, C.V. Ramadhani, Sala.
Dr.Effat al-Sharqawi,1981,Filsafat
Kebudayaan Islam,PUSTAKA Perpustakaan
Salman Institut Teknologi Bandung.
No comments:
Post a Comment