Tuesday, November 17, 2015

MAKALAH PROBLEMATIKA FILSAFAT

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran mengenai ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, ethika, ekonomi, politik aestetika, dan pngertian yang lain mengenahi filsafat adalah ilmu mencari kebenaran pertama,ilmu tentang yang maujud yang diciptakan olehyang maujud, ilmu tentang segala yang ada yang menunjukan ada yang  sebagai penggerak pertama,ia belum sampai kepada konsepsi adanya tuhan yang menciptakan.
 Sejarah pemikiran filsafat layak diketengahkan agar generasi masa kini dapat memahami berbagai peristiwa besar dalam dunia pemikiran dan segala perubahannya dalam sepanjang zaman.banyak beberapa orang besar diantaranya beberapa filosof yang paling menonjol di dunia islam,baik dibagaian Timur dan bagian Barat. Diantaranya
Al-Kindi, Al-Farobi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dimana ahli filosof mempunyai pandangan mengenai pengertian filsafat secara berbeda-beda.
Disini pemakalah akan menguraikan sedikit dari salah satu ahli filosof yaitu Al-Farobi,di dalam bukunya Tahsilus-sa’adah(memperoleh kebahagian). Al-Farobi mengetengahkan kisah perjalanan filsafat sejak dari bangsa-bangsa kuno sampai orang arab. Sebelum menganut islam orang arab tidak mengenal filsafat,mereka tidak menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan dan peradaban yang datang dari negeri tetengganya. Seperti orang Mesir Kuno,Yunani, Babilonia, Kaldan, Persia dan India. Bagaimana mungkin orang-orang arab mengenal filsafat dan ilmu pengetahuan, jika kenyataannya mereka tidak menaruh perhatian sama sekali pada syarat utama yang diperlukan untuk mengabdikan kemajuan fikiran yang mereka terima dari suatu generasi ke generasi berikutnya sebagai pusaka pemikiran.
Filsafat pindah ke tangan orang arab setelah islam. Setelah agama baru itu mengantarkan mereka kedalam kehidupan baru, sebagian besar penduduk wilayah Negara yang seluas itu beragama islam dan berbicara bahasa arab. Sejak saat itiu sampai sepuluh abad lamanya kaum muslimin menjadi pengibar panji peradaban dunia, mereka mendalami berbagai macam Ilmu Pengetahuan, Keahlian, dan  Tehknologi. Semuanya mereka tekuni sehingga menjadi filsafat, sebagaimana yang dikatakan Al-Farabi, sumber segala hikmah dan induk segala ilmu. Perkembangan filsafat selama seribu tahun yang lalu itu baru terjadi setelah orang-orang arab mencurahkan perhatian besar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan setelah mereka memainkan peranan yang sangat menonjol.
Beberapa ahli filsafat memperbincangkan tentang filsafat islam atau filsafat arab, yang akhirnya menjadib problema filsafat islam yang diantaranya tentang corak islam atau corak arab. Dan juga problema filsafat islam yang terpenting diantaranya Semantik, Tuhan, Alam dan Manusia.
Dan disinilah yang membuat pemakalah tertarik untuk membahas problema-problema filsafat islam, yang nantinya akan diuraikan pemakalah dalan bentuk Pokok  Masalah dan Wacana. Untuk lebih jelasnya silahkan baca halaman selanjutnya.

B.     Pokok Masalah
1.      Tuhan, Alam, Manusia. Mengapa menjadi problema filsafat islam yang terpenting?
2.      Apakah Filsafat itu bercorak islam atau bercorak arab?
3.      Bagaimana para filosof memandang ilmu semantic?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tuhan, Alam, Manusia.
Para filosof Arab mewarisi dua macam teori khusus mengenai Tuhan dari para filosof Yunani. Pertama teori Aristoteles yang menyebut Tuhan sebagai “Penggerak yang tidak bergerak”, yakni Sebab Pertama bagi gerak seluruh alam wujud. Menurut definisi Aristoteles, pembahasan mengenai soal maujud (eksist) dari segi eksistensinya dia maujud, dan dari segala maujud yang tertinggi ialah Yang Maujud Mutlak, yaitu Tuhan. Jadi menurut pemikiran Aristoteles, Tuhan itu maujud (eksist, ada). Akan tetapi sifat maujud itu, atau istilah a’la Aristoteles itu bukanlah nama dari nama-nama agung (Al-Asma’ul -Husna) yang terdapat di dalam Qur’an. Kita mengetahui banyak sekali para ahli fikir Islam yang menolak penyebutan nama Tuhan, selain yang termaktub di dalam Qur’an. Mereka tidak mau menyebut Allah dengan nama yang lazim kita gunakan untuk menamai segala sesuatu yang ada di alam wujud, yang kita pisah menjadi dua unsure, yaitu : Zat (subtansi) dan sifat (predikat).[1]
Teori yang kedua adalah Teori Plato dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu teori yang memandang Allah “Esa”, dan dari Yang Esa itu melimpahlah Al-‘Aqlul-Awwal (First Mind, Akal Pertama) kemudian An-Nafsul-Kulliyyah (Universal Soul. Jiwa Keseluruhan) lalu Al-Hayula (Primordial Matter, Benda Pertama, Natur atau Alam). “Yang Esa” adalah sebutan nama Allah dan termasuk dalam Al-Asma’ul-Husna. Akan tetapi, “Yang Esa” menurut pengertian metafisik pada dasarnya berbeda dengan pegertian metafisik eksistensi yang dikumandangkan oleh Aristoteles.
Teori Plato berbicara tentang “pelimpahan” (faidh), yakni alam itu keluar dari Tuhan sebagai keharusan, ibarat cahaya keluar dari matahari atau air keluar dari mata air. Jadi Tuhan tidak mempunyai kelebihan yang berupa kesanggupan mencipta.
Ada pula Teori Islam yang memisahkan Allah dari Alam. Islam mengajarkan pengertian dasar bahwa alam diciptakan dari ketiadaan. Pada mulanya alam tidak ada, kemudian menjadi ada atas kehendak dan perintah Allah. Ini ditegaskan dalam firman-Nya: “ Bila Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya ‘ jadilah’, maka terjadilah”. Oleh karena itu semua para ahli ilmu Kalam berpendapat bulat, bahwa Allah adalah Al-Khaliq atau Maha Pencipta.
Mengenai masalah tersebut sikap Al-Kindi berbeda dengan sikap Al-Farabi; sikap Al-Farabi berbeda dengan sikap Ibn Sina; Sedangkan sikap Ibn Rusyd berbeda dengan filosof sebelumnya.
Teori Al-Kindi mengenai Tuhan dapat di ringkas sebagai berikut: Allah ialah Al-Wahidatul-Haqq (Satu Yang Hakiki). Istilah “satu” biasa kita sebut untuk menamakan apa saja. Baik “satu” dalam kaitannya dengan matematika, dalam kaitannya dengan ilmu alam, atau dengan segala hal yang ada di alam wujud ini, hanya “satu” dalam arti majaziy (bukan hakiki). Sedangkan “Satu Yang Hakiki” (Al-Wahidul-Haqq) ialah “satu menurut subtansinya yang tidak akan menjadi banyak disebabkan oleh apa pun juga, tidak akan terbagi-bagi dalam bentuk apa pun juga, tidak disebabkan oleh subtansinya sandiri maupun oleh hal ihwal di luar subtansinya; tidak bertempat dan tidak berwaktu, tidak membawa dan tidak dibawa, bukan suatu keseluruhan (Kull) dan bukan suatu bagian (Juz).[2]
Hubungan antara Allah dan alam adalah hubungan ibda’, hampir sema’na dengan Khalq. Ibda, berarti menciptakan sesuatu dari ketiadaan (‘adam) disamping menunjukkan arti “pengurusan” dan “pengaturan” sesuatu yang diciptakan. Al-Kindi mengatakan pada akhir suratnya (kepada Al-Mu’tasim Billah) sebagai berikut: “Dengan demikian maka Al-Wahidul-Haqq ialah “Yang Pertana”, “Yang Mencipta” sesuatu dari ketiadaan dan “Yang Menguasai” segala yang telah diciptakan-Nya. Sesuatu yang lepas dari kekuasaan-Nya adalah durhaka dan pasti binasa”.
Al-Farabi adalah filosof pertama yang mempertemukan filsafat Aristoteles dengan filsafat Neo-Platonisme, mempertemukan filsafat “eksistensi”-nya Aristoteles dengan filsafat “Yang Satu”-nya Al-Kindi. Menurut pandangan Al-Farabi, Allah adalah Al-Awwal (pertama) ialah “ Sumber Pertama” bagi seluruh alam wujud dan “Sebab Pertama” bagi eksistensinya. Al-Farabi menegaskan sifat Allah, bahwa Dia Maha Suci dari segala bentuk kekurangan. Al-Farabi menyebut Allah dengan sebutan sifat-sifat yang mempunyai pengertian yang mutlak dan tertinggi, seperti: Maha Maujud, Maha Esa, Maha Hidup, Maha Sempurna, Maha Adil, Maha Pemurah, dan lain-lain.
Ibn Sina adalah seorang filosof “eksistensialis”(sealiran dengan Aristoteles). Dalam teori filsafat ketuhanannya, Ibn Sina menyebut Allah cukup dengan Al-Wajib, sedangkan Al-Farabi lebih suka menyebut-Nya dengan Al-Awwal. Letak perbedaan antara dua filosof ini adalah, bahwa Guru Kedua (Al-Farabi) berperan dengan: Allah sebagai “Sumber Pertama”, sedangkan Ibn Sina berpandangan: Allah sebagai Wajibul Wujud.
Dengan demikian jelaslah bahwa Allah adalah Maujud (Ada), tetapi bagaimanakah cara kita mendefinisikan Maujud itu?
Ibn Sina menyebut arti Maujud sebagai salah satu pengertian ‘aqli (al-Ma’ani al-badihiyyah). Mengenahi Ketuhanan, ia mengatakan dalam bukunya yang berjudul Asy-Syifa sebagai Al-Majud,”Sesuatu”, “Yang Pasti”. Kepastian tentang Wujudul-Maujud merupakan problema yang harus dipecahkan oleh filsafat. Bagaimanapun juga kita perlu mengetahui makna sesuatu yang tidak bisa tidak”pasti ada”(Alwajib-Al-wujud).
Menurut Ibn Sina, definisi Al-Wajibul-Wujud ialah: “Sesuatu yang ada (maujud) yang jika ditetapkan “tidak ada” menimbulkan muhal (mustahil). Sesuatu yang “pasti ada” (Al-Wajibul-Wujud) kepastian adanya bisa disebabkan oleh zatnya sendiri, dan bisanpula disebabkan oleh adanya yang lain.
Misalnya: Kebakaran terjadi saat kayu bertemu api. Kebakaran itu terjadi karena adanya yang lain, yaitu dengan adanya api yang mengandung kekuatan membakar. Dari penjelasan tersebut maka terdapat tiga penggolongan Al-Wujud, yaitu: Wajibul Wujud Bilzhati (sesuatu yang kepastian adanya disebabkan oleh dzatnya sendiri), Wajibul Wujud Bighairihi (sesuatu yang kepastian adanya disebabkan oleh yang lain), dan Mumkinu Wujud (sesuatu yang bisa ada dan tidak ada, atau mungkin ada dan mungkin tidak ada).
Pendapat Ibn Rusyd yaitu: Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah Maujud (Exist), dalam arti zat-Nya berada di luar diri kita, berarti pula bahwa Tuhan adalah Hakekat Nyata.
Alam. Kaum filosof berpegang pada pendapat yang diwarisi dari orang Yunani (Plato dan Plotinus): bahwa alam adalah qadim (azali). Menurut Plato, alam memang qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya. Tetapi teori di atas bertentangan dengan Islam, Islam menegaskan, bahwa Tuhan yang menciptakan alam dari ketiadaan, dan Tuhan Maha Kuasa mengganti ciptaan-Nya dengan ciptaan-Nya yang lain, atau mengembalikannya lagi seperti semula.
Menurut Al-Kindi, alam itu mutanahin (berahir). Karena alam itu mutamahin maka ia tidak azali, sebab yang azali tidak berjenis. Azali (eternal) adalah suatu maujud (exsist) yang tidak berawal, namun kadang-kadang diartikan juga “tanpa awal dan tanpa akhir”.
Menurut Ibn Rusyd, alam ini benar-benar diciptakan dari ketiadaan. Sebagaima`na firman Allah: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan singgasana-Nya (‘Arsy-Nya, sebelum itu) di atas air” (Qs. Hud:7). Ayat tersebut di tafsirkan Ibn Rusyd sebagai berikut: “Sebelum eksistensinya langit dan bumi telah ada eksistensi yang lain, yaitu singgasa (‘Arsy) dan air, dan sebelum waktu (penciptaannya) telah ada waktu yang lain…”[3]
Manusia. Terdiri dari jiwa dan raga. Apa yang dituntut oleh raga dan apa yang dituntut oleh jiwa, dua-duanya harus dipenuhi, agar manusia selamat di alam ini. Para Filosof Yunani lebih banyak mencurahkan perhatian pada soal kejiwaan dari pada soal jasmani. Sebab menurut mereka, manusia pada hakekatnya adalah hewan yang bisa berbicara, berfikir dan mengerti. Yang membedakan manusia dengan hewan ialah segi kejiwaannya, yajni akal dan fikiran.
Islam tidak mengenal adanya perbedaan di antara sesame manusia kecuali atas dasar ketakwaan kepada Allah dan kebaikan perilaku dalam kehidupan. Dilain fihak, Islam juga tidak memandang manusia dari segi fikirannya saja, atau dari segi kejiwaannya saja sehingga melupakan segi jasmaninya. Sebaliknya Islam memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani. Segi jasmani mempunyai tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidup dengan lurus dan selamat. Segi rohani pun mempunyai tuntutan yang harus di penuhi sehingga batinnya tenang.
Menurut Al-Farabi dalam bukunya Al-Madinatul-Fadhilah, “Pada saat terjadinya manusia, yang pertama-tama terjadi pada diri ialah kekuatan yang membuatnya dapat makan, yaitu kekuatan makan. Setelah itu terjadilah kekuatan yang membuatnya dapat merasakan sesuatu yang di raba…”. Kemudian Al-Farabi menyebut berbagai macam daya indera, seperti: indera perasa, pendengar, penglihat.
Kesempurnaan manusia terletak pada keberhasilan memperoleh ilmu-ilmu sehingga ia berhak disebut Manusia Berfikir. Keberhasilannya itu diabdikan pada dua macam tujuan, yaitu hal-hal yang indah dan bermanfaat. Menurut Al-Farabi, untuk memperoleh ilmu harus ditempuh dua jalan: pengajaran dan pendidikan. Pengajaran mengantarkan kita agar dapat mendapat ilmu; dan dengan pendidikan para siswa dicetak menjadi orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan.
Al-Farabi juga berpendapat bahwa manusia mencapai kesempurnaan tidak hanya secara individual. Ia menegaskan bahwa “Manusia tidak mungkin dapat mencapai taraf kesempurnaan yang diciptakan menurut fitrahnya, kecuali dengan hidup bermasyarakat, saling membantu dan satu sama lain saling bekerja untuk memenuhi kebutuhan bersama…Dengan demikian manusia akan berkembang menjadi banyak, dan disitulah lahir masyarakat manusia”. Jadi, Kebajikan yang paling utama dan kesempurnaan tertinggi hanya dapat dicapai pertama-tama dengan jalan bermasyarakat.

B.     Bercorak islam atau Bercorak arab
Filsafat adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama islam.
 Diantara turats (tradisi) Islam yang sangat melimpah, adalah filsafat Islam. Namun para sejarawan filsafat, khususnya abad ke-20, berbeda pandangan apakah tradisi filsafat tersebut dinamakan filsafat Islam atau filsafat Arab—dalam tulisan ini hanya membincang tataran penamaannya saja (tasmiyyah). Perbedaan dalam penyematan sebuah nama terhadap tradisi filsafat ini terjadi bukan hanya di kalangan Islam, bahkan juga di kalangan orientalis barat. Dan, dalam tulisan ini, lebih fokus mengemukakan pandangan orientalis barat terkait penamaan tersebut.
Dalam intern orientalis barat terjadi perbedaan apakah tradisi tersebut dikatakan filsafat Islam atau filsafat Arab. Sebagian mereka, diantaranya Mourice De Wolf (Profesor di U. Lauven), Brehier (Profesor di U. Sorbonne), berpandangan bahwa tradisi filsafat tersebut dinamakan filsafat Arab. Argumen mereka, “sebab para tokoh filsafat tersebut menuliskannya dengan teks-teks Arab”. Titik tekan mereka lebih pada bahasa bahwa, tumpukan tradisi filsafat tersebut tertuang dalam bentuk teks-teks Arab.   
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan islam,kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang arab,tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi,Al-Farabi,Ibn Sina dan lain-lain.Kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan,pendapat serta pemikiran mereka.Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof islam”.Ada pula yang menamakan “para filosof beragama islam.”Kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para ahli hikmah islam”(filsafatul-islam atau al-falasifatul islamiyyin atau hukums’ul-islam),mengikuti sebutan yang diberikan Syahrustani,Al-Qifthi,Al-Baihaqi dan lain-lain.
Profesor Carlo Nillino, terkait apakah nanti dikatakan filsafat Islam atau filsafata Arab, masuk melalui analisa terhadap kata “Arab”. Sederhananya, kata “Arab” disamping dapat dimaknai secara hakiki  juga bisa dimaknai secara istilah. Menurutnya, jika kata “Arab” menunjuk pada masa pra Islam dan awal-awal Islam maka sudah pasti yang dimaksud adalah makna “Arab” secara hakiki, yakni menunjukkan “umat atau orang-orang penghuni Semenanjung Jazirah Arab”.
Namun, jika menunjuk pada masa Islam setelah abad pertama Hijriah, maka bisa saja yang dimaksud adalah makna istilah yang menunjukkan: semua umat dan bangsa yang berdomisili di bawah pemerintahan Islam yang menggunakan bahasa Arab dalam banyak karya ilmiah mereka. Jadi, meski asal mereka adalah Persia, India, Turki, Siria, Mesir, Andalusia dan lainnya jika mereka tinggal di bawah pemerintahan Islam dan menggunakan bahasa Arab dalam karya-karya ilmiah mereka maka dikatakan sebagai “Arab”. 
Dari penjelasan singkat Carlo Nallino di atas menjadi cekup terang bahwa lebih tepatnya, tradisi filsafat ini, bisa dinamakan filsafat Islam di satu sisi, juga filsafat Arab di sisi yang lain. Tergantung kita bertolak dari titik mana terkait kata “Arab” di atas: apakah dari makna hakiki kata “Arab” yang berarti nisbatnya ke umat, atau makna istilahnya yang berarti nisbatnya ke bahasa yang digunakan dalam tradisi filsafat tersebut.   
Sampai di sini, jika kita cermati argumen kelompok pertama, “sebab para tokoh filsafat tersebut menuliskannya dalam teks-teks Arab”, menunjukkan bahwa kelompok pertama ini nampak bertolak dari makna kata “Arab” secara istilah. Sementara argumen kelompok kedua, “sebab mayoritas besar para tokohnya bukanlah orang Arab, bahkan non Arab” sehingga tak bisa dikatakan filsafat Arab, menunjukkan bahwa mereka bertolak dari makna haikiki kata “Arab” yang menunjukkan suatu umat.
Jika demikian maka, sebenarnya tak ada pertentangan antara kedua kelompok tadi. Hanya saja masing-masing bertolak dari titik tolak yang berbeda. Kelompok kedua tentu tak bisa menyangkal kelompok pertama dengan mengakatan, “kan mayoritas para tokohnya adalah non Arab, bagaimana bisa dikatakan filsafat Arab?”, sebab kelompok bertama tak bertolak dari kata “Arab” yang bermakna hakiki (umat). Begitu pun sebaliknya, kelompok pertama tak bisa menyangkal kelompok kedua dengan mengatakan, “kan para tokohnya menuliskannya dalam bahasa Arab”, sebab kelompok kedua tak bertolak dari kata “Arab” secara istilah.
Dari beberapa perbedaan di atas, Syekh Mushthafa Abdur Raziq berusaha mengemukakan pandangannya dengan mengatakan: “Menurutku, karena para tokoh filsafat (Islam) ini  telah menciptakan nama sebagai istilah untuk menunjukkan filsafat ini, maka tak diperkenankan beralih dari istilah ini (mengganti istilah ini dengan istilah yang lain)… Kita temukan Ibnu Sina (w. 428 H.) dalam kitab: al-Syifâ’ dan kitab al-Najâh menyebutkan ‘al-Mutafasifah al-Islâmiyyah. Kemudian al-Syahrastani (w. 548 H.) dalam kitabnya: al-Milal wa al-Nihal  menyebutkan dengan ‘falâsifah al-Islâm’ dalam banyak tempat… Kemudian ‘falâsifah al-Islâm’, dan ‘Hukamâ’ al-Islâm’ dalam kitab Akhbâr al-Hukamâ’ dan Muqaddimah Ibnu Khaldun.
Diantara perkataan al-Syahrastani di atas yang dikutip Syekh Mushthafa Abdur Raziq adalah; “Dan para filasuf Islam mutaakhir seperti Ya’qub bin Ishaq al-Kindi, Hunain bin Ishaq…Mereka semua yang menggeluti filsafat di bawah naungan Islam, baik orang Islam maupun non Islam, disebut para filasuf Islam dan filsafat merekasecara istilah disebut dengan filsafat Islam…”
Oleh karena itu, Syekh Mushthafa Abdurr Raziq lebih memilih istilah “filsafat Islam” untuk menamakan tradisi filsafat tersebut ketimbang istilah filsafat Arab. Yang penting ia lahir dan berkembang di bawah naungan negara-negara Islam dengan berbagai tradisi dan sosio kulturnya maka ia dikatakan sebagai filsafat Islam tanpa memandang agama dan bahasa orangnya. Dari sini nampak Syekh Mushthafa Abdur Raziq sejalan dengan kelompok kedua di atas yang berargumen mengapa dikatakan filsafat Islam sebab, “disamping Islam memiliki pengaruh besar dan jelas dalam pembentukan filsafat terbut juga karena ia lahir di negara-negara Islam dan di bawah naungan Islam itu sendiri.” Cuma bedanya, Syekh Mushthofa Abdur Raziq juga berangkat dari pertimbangan bahwa para tokoh filsafat Islam sendiri telah menyebutnya dengan nama filsafat Islam. Sebagaiamana di atas.[4] 
Pembicaraan ini jadi berkepanjangan jika kami mengutip semua yang di sebutkan oleh mereka yang menenkuni filsafat tersebut.saya hendak mengakhiri dengan pendapat yang telah saya kemukakan dalam buku yang saya tulis dalam buku yang saya tulis dalam bahasa inggris berjudul ‘filsafat islam’ saya katakan dalam buku tersebut sebagai berikut;
Orang orang yang mrnyebut pemikiran  itu filsafat arab berasaln karena pemikiran tersebut  ditulis dalam bahasa arab.dan karena pemikiran filsafat itu pertama kali di tejermahkan dalam bahasa arab.kemudian disususn oleh para filosof  dan di tambahkan keterangan-keterangan yang dituangkan dalam bahasa arab..akan tetapi harus di ingat ;penerjemahan filosof yunani ke dalam bahasa arab  tidak cukup di jadikan alas an untuk menamakannya filsafat arab . sebab berbagai tokoh filsafat  pada masa itu  bukanlah orang orang arab,melainkan orang turki,seperti al farabi dan orang Persia seperti ibnu sina,misalnya.bahkan beberapa filosof menuliskan karya pemikiran buku merekan dalam bahasa Persia .dengan demikian karya pemikiran mereka  turut membentuk sebagiandari filsafat yang dinamakan filsafat islam.karena
di dalamnya terdapat unsure baru yang telah mempengaruhi filsafat yunani,filsafat iskandariyah dan pandangan filsafat lainnya.itulah filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab.para filosof pada masa itu berpegang pada pandangan islam sabagai pedoman dalam usaha mereka mencari persesuaian antara islam.unsur baru dan pandangan-pandangan filsafat lain .oleh karena itu pemikiran filsafat  tersebut kita namakan saja filsafat islam dan di dalam istilah tersebut tidak mengandung kekisruhan sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang .


C.    Ilmu Semantik
Para filosof arab besar perhatian nya pada semantik,di satu pihak karena semantik merupaka  problema  yang amat berharga dan di pihak lain karna semantic merupakan  sarana filsafat .dalam bagian terdahulu kita telah  membicarakan perbedaan ilmu kalam dalam ilmu filsafat karena masing masing memekai metode yang berbeda .semantik adalah metode filsafat ,sedangkan metode yang digunakan  para ahli ilmu kalam adalah diskusi(al jadal).
Kita tidak dapat meramalkan  kemajuan besar yang dicapai oleh para filosof arab dalm melakukan studi  mengenai ilmu semantic ,sebab aristoteles sebagai penemu  ilmu tersebut hanya sedikit meninggalkan  sisa persoalan yang masih perlu dibahas.adapun mengenai pokok pokoknya yang bersifat umum dan urutan problematikanya,para filosof arab telah mengikuti jalan yang ditempuh  guru  buku buku itu telah kami sebut  dalam pembicaraan tentang zaman penerjemah.
Yang baru ialah mengenai pengaturan dan penyajian ilmu tersebut secara lengkap dan sempurna sebagai mana yang dapat kita temukan dalam sebuah buku yang di tulis pada abad ke6 H oleh zainuddin umar bin sahla assawi dengan judul albasyairu nasyiriah .setelah  banyak mempelajari dalil dalil pembuktiannya ,syekh  Muhammad abduh sendiri sangat mengagumi buku tersebut ,lantas ia mnerbitkan dan  mengajarkan nya .
Di pihak lain terdapat beberapa problema yang dibahas para filosof secara mendalam dan digali kesukaran kesukarannya .barangkali buku semantik asy syifa  yang ditulis ibn sina merupakan contoh terbaik pembahasan semantic secara mendalam.
Alasan yang lain lagi ialah karna ketekunan para filosof arab dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang kemudian diikuti dengan metoda eksperimen dalam penelitian mengenai soal-soal alam,berbeda dengan metoda eksperimen mengenai ilmu semantic.karenanya mereka memperluas pengetahuannya tentang istiqra’[5]
Karena ilmu semantic adalah sarana atau alat dan senjata bagi filsafat untuk menangkis argumentasi lawan,dapat dipergunakan untuk menyerang musuh dan ada kalanya di arahkan juga secara khusus terhadap agama,maka para ahli fiqih islam memandang simentik sebagai sebab yang menimbulkan kekacauan dalam filsafat dan sekaligus pula merupakan sebab pokok yang menyelewengkan manusia dari kebenaran dan jalan yang lurus. Yang mereka maksud dengan “jalan lurus” ialah jalan agama.Atas dasar itu banyak fakta dikeluarkan untuk mengharamkan kegiatan menekuni ilmu semantic,sehingga ada pameo mengatakan:Siapa belajar semantic ia menjadi zindiq(menyimpang dari rel agama).
Pada dasarnya semantic adalah ilmu pemikiran (‘ilmun dzihniyyun).Bidang kegiatannya hanyalah dapat dilihat dari adanya persolan yang bersifat pemikiran,dan bukan yang berada di luar pemikiran,yaitu hanya dapat di bayangkan saja.Atau sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu sina di dalam Al-Madkhal halaman156:”jika kita hendak memikirkan dan mengetahui sesuatu,tidak bisa lain kita pasty membayangkan sesuatu itu lebih dulu.Hanya dengan akal fikiran sajalah segala sesuatu dapat di mengerti atau tidak dapat dimengerti akan tetapi dalam buku-buku yang ditulisnya belakangan,Ibn Sina mengakui adanya persoalan jenis lain,yaitu persoalan yang eksistensinya tidak tergantung pada akal fikiran itu sendiri,tetapi pada pengamatan segala sesuatu yang berada diluar fikiran dan yang keadaanya senantiasa berubah.
Semantik adalah cara menyusun dalil atas dasar hal ihwal yang diketahui untuk menarik kesimpulan tentang masalah yang belum diketahui.Caranya dengan qiyas dan juga lewat burhan.Para ilmuan arab menaruh perhatian besar pada qiyas.Setiap pemikiran mereka kembalikan pada sisitem qiyas agar kesimpulannya tetap bersumber dari hal ihwal yang telah ada sebelumnya.Pada mulanya filosof arab mengarahkan pandangan mereka pada usaha menemukan dalil-dalil aksioma untuk dijadikan burhan yang baik.
Dalil-dalil aksioma bagi qiyas bermacam-macam, diantaranya: kenyataan-kenyataan konkrit, pengalaman,gambaran pemikiran,berita-berita terpercaya,gagasan sesuatu yang dikenal umum, sesuatu yang dapat diperkirakan, sesuatu yang dapat diterima akal, awwaliyat [6]dan sebagainya.
Pembuktian adalah cara untuk memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan menurut pandangan ahli semantic,eksperimen tidak mungkin dapat mencapai martabat setinggi pembuktian yang meyakinkan,karena eksperimen hanya ddasarkan pada beberapa juz’iyyat (hal ihwal yang bersifat bagian atau partial) yang mengandung kekurangan dan kekeliruan.
Para filosof juga berpendapat bahwa semantic dapat dijadikan alat yang berguna untuk menyusun dalil pembuktian tentang ekstensi tuhan,yaitu alat aqriyah.akan tetapi al-ghozali menolak dan mengingkari pendapat mereka,karna ia beranggapan bahwa pengenalan kepada allah berada diluar lingkaran akal.mengenal allah tidak bisa lain harus melalui cara yang lebih tinggi,yaitu ilham dan itu dapat dicapai dengan jalan tasauf.

BAB III
PENUTUP

A.    ANALISA
1)      Materi ini sedikit sulit untuk di pahami, karena banyak istilah-istilah yang baru pemakalah temui.
2)      Materi ini memiliki daya tarik sehingga pemakalah dan pembaca tertarik untuk membaca mengenahi problem filsafat.
3)      Problem filsafat disini sangat bermanfaat, karena pembaca dapat mengetahui teori-teori tentang Tuhan, Manusia, dan Alam oleh para filosof Yunani dan Islam.

B.     KESIMPULAN
1.      Hubungan antara Allah dan alam adalah Ibda’ (menciptakan sesuatu dari ketiadaan)
2.      Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Dimana apa yang di tuntut oleh jiwa dan raga harus dipenuhi, agar selamat di alam ini.
3.      Semantic adalah sarana atau alat dan senjata bagi filsafat untuk menangkis argumentasi lawan,dapat dipergunakan untuk menyerang musuh dan ada kalanya di arahkan juga secara khusus terhadap agama.

DAFTAR PUSTAKA

Dr.Ahmad Fuad Al-Ahwani,1988,Filsafat islam,PT.Abadi Jakarta
Prof.Dr.H.Abu bakar Aceh, 1970-1982, Sejarah Filsafat Islam, C.V. Ramadhani, Sala.
 Dr.Effat al-Sharqawi,1981,Filsafat Kebudayaan Islam,PUSTAKA Perpustakaan  Salman Institut Teknologi Bandung.





[1] Filsafat Islam.Dr Ahmad Fuad Al Ahwani, halaman 100
[2] Dari surat Al-Kindi kepada Al-Muktasim Billah, halaman 141
[3] At-Tanbih Fi Sabilis-Sa’adah, halaman 8
[4] http://amrullahgerlang.wordpress.com/2013/09/19/filsafat-islam-atau-filsafat-arab/
[5] Istiqra’ dalam pengertian yang umum berarti pemeriksaan, penelitian, pendalaman, penyelaman, mencari pembuktian, dan sebagainya. Halaman 92
[6] Dalil-dalil yg tidak memerlukan pembuktian, halaman 95

No comments:

Post a Comment