BAB I
Pendahuluan
Filsafat Islam muncul pada awalnya adalah didorong oleh
sebuah cita-cita terciptanya keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati,
agama dan logika. Geliat pemikiran yang semacam ini muncul tatakala Islam mulai bersentuhan dengan tradisi filsafat
Yunani klasik yang berkembang di abad pertengahan.Tokoh filsof Islam pertama
kali yang berusaha untuk menyelaraskan atau mempertemukan antara akal dan wahyu
adalah Al-Kindi (801-873). Di adalah tokoh yang pertama kali merumuskan secara
sistematis apa itu filsafat Islam. Meskipun, pemikiran Al-Kindi sendiri
sebenarnya masih berbaur secara lekat dengan debu teologi.
Memang, meskipun
dalam ajaran Islam, aqal mendapatkan porsi yang cukup besar, namun dalam
praktiknya umat Islam justru banyak yang meninggalkan aqal. Kehendak umat Islam
untuk jauh dari tradisi rasionalitas itu justru dengan alasan untuk praktik
keberagamaan itu sendiri. Secara umum umat Islam mempunyai asumsi kuat bahwa
Islam adalah wahyu yang keberadaannya harus diterima secara taken for
granted, sebuah produk yang
sudah sempurna sehingga pengimplementasiannya ke dalam ranah empirik tidak memerlukan sentuhan rasionalitas lagi. Menggunakan akal atau rasionalitas dalam praktik keberagmaan ini justru akan berpotensi mendistorsi ajaran-ajaran suci Islam itu sendiri. Pola keberagamaan semacam ini akhirnya menimbulkan sebuah persepsi yang timpang. Agama akhirnya diposisikan sebagai antitesis akal atau sebaliknya akal diposisikan sebagai lawan dari agama.
sudah sempurna sehingga pengimplementasiannya ke dalam ranah empirik tidak memerlukan sentuhan rasionalitas lagi. Menggunakan akal atau rasionalitas dalam praktik keberagmaan ini justru akan berpotensi mendistorsi ajaran-ajaran suci Islam itu sendiri. Pola keberagamaan semacam ini akhirnya menimbulkan sebuah persepsi yang timpang. Agama akhirnya diposisikan sebagai antitesis akal atau sebaliknya akal diposisikan sebagai lawan dari agama.
Hal semacam itu,
tentu merupakan sebuah ironi. Kenapa? Karena agama jusru bisa hidup kalau
didukung oleh akal. Agama tidak akan pernah bisa hidup dan bicara kepada
masyarakat kalau aktualisasi nilainya tidak dibingkai oleh kerja akal. Sebab,
agama adalah sebuah ajaran yang universal dan abstrak, ia merupakan suara
langit yang berusaha untuk menyentuh realitas. Ajaran semacam ini tidak akan
mampu turun ke bumi kalau tanpa diperantarai oleh akal dan rasionlaitas. Bahasa
agama selamanya akan terus melangit, tidak akan mampu dipahami oleh manusia di
bumi kalau peran akal untuk mensosialisasikan bahasa tersebut dinisbikan. Akal
adalah perangkat (tool) utama untuk mengkomunikasikan bahasa langit itu
kepada penduduk bumi dan inilah yang terjadi di Islam.
Oleh karena itu,
tokoh-tokoh filsof muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Rushd,
Ibnu ‘Araby, Mulla Shadra dan sederet filsof muslim lainnya mempunyai ghirrah
untuk menerapkan filsafat sebagai logika forma dalam memahami agama. Dan
terbukti, setelah agama bisa didekaklan dengan filsafat Islam mengalami
kejayaan dalam ilmu pengetahuan.
Namun meskipun
demikian, tidak berarti filsof yang menyeret filsafat ke dalam ranah teologi
atau wahyu tersebut berada dalam maenstream pemikiran. Seperti yang ada
di wilayah teologi, di dalam dunia filsafat Islam juga terdapat beragam genre
dan kredo filsafat yang beraneka ragam. Kalau di ranah teologi dikenal ada
kredo teologis seperti Ahlussunnah, mu’tazilah, jabariyah, qodariyah dan syi’ah
dan sebagainya, maka dalam filsafat Islam juga dikenal ada paripatetisme,
emanasi, Isyraqiyyah (illuminisme), madzhab Isfahan (al-Hikmatul
Muta’aliyyah) dan sebagainya. Namun dalam tulisan ini hanya berusaha
menampilkan dua aliran saja yakni aliran Isyroqiyyah dan madzhab Isfahan. Untuk
mengkaji beragam aliran filsafat Islam yang jumlahnya banyak itu tentu
dibutuhkan tenaga ekstra. Karena adanya berbagai keterbatasan, di sini hanya
bisa mengulas secara singkat dari dua aliran filsafat tersebut.
BAB II
POKOK MASALAH
Adapun permasalahan yang akan di kupas dalam makalah ini, diantaranya
adalah :
1.
Aliran Isyraqiyyah (Illuminisme)
2.
Aliran Madzhab Isfahan
BAB II
WACANA
1. Isyraqiyyah
(Illuminisme)
Filsafat Isyraqiyyah
atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya
adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama
dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya
mempunyai perbedaan yang mendasar.
a.
Tokoh- tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik
adalah
Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu
Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada
tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya
Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran
filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu.
Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik
filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling
sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina
sebagai filsof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat
Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak diklaim
sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik
dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada
buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu
Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis
didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan
menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru
atas dasar sepasang argumen berikut:
Ø
Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat
iluminasi.
Ø
Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya
disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid
al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang
hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia
generalis (al-hikam al-ammah).
Epistemologi
Isyraqiyyah
Dalam bagian dari
jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari
pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu
yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya.
Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama
sekali tidak dapat dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan
ini adalah istanta (instance/mishdaq) paling sempurna dari kehadiran
obyek pengetahuanb pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar illuminisme
adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya,
serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Apa yang
ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya
sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu ia bisa
mencapai realitas puncak tertinggi (ultimate reality).
Dengan demikian,
metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui cerapan indera,
tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam ini,
saran yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang
mencapai kebersihan hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan pengalaman
tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa atau
hati (qolb) mengalami keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan
terlimpahi oleh pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah
adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan
memverivikasinya secara logis rasional.
Kemudian bagaimana
gambaran atau bentuk dari penegtahuan iluminasi yang masuk kategori klhudluri
ini? Secara umum sebenarnya hampir sama dengan filsafat emanasi. Di situ
terdapat tangga-tangga wujud (existence) mulai dari wujud satu hingga
sebelas. Jadi secara formal bentuknya sama dengan filsafat emanasi dalam
parepatatisme yang mendahuluinya, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai
hirarki-hirarki, dari yang paling atas sampai terbawah. Hanya saja kalau dalam
filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek, maka dalam
filsafat Isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya).
Jadi seperti yang
dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu
tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka
dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga
dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud
tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud
tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi
tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud
tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan
iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya
melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha
cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya
pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga
dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya
yang dekat dengan alam materi.
Sekarang
pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya
Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam
mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local
wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada
prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani
maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya
lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan
Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang
dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan
wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya
dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term
Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat
iluminisme ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari
peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi
klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang
dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun
ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak
terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus
dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada
beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan
pengetahuan model iluminasi ini.
Ø
Tahap pertama,
seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn
duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi.
Ø
Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang
di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan
(An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya
ilham (Al-Anwarus Sanihah).
Ø
Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika
diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
2. Madzhab Isfahan (Al-Hikamtul Muta’aliyyah)
Filsafat madzhab
Isfahan ini lebih dikenal dengan Al-Hikamtul Muta’aliyyah atau fislafat tinggi.
Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu
itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia.
Istilah ini
mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas
oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak
melahirkan murid tersohornya: Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang
madzhab Isfahan ini. Oleh karena itu filsafat Hikmah (Al-Hikmatul
Muta’aliyyah) atau mdazhab Isfahan ini merupakan fiilsafat yang bermuara
pada kedua tokoh guru murid tersebut.
Madzhab ini muncul
ketika dinasti Shafawiyah mulai memindahkan ibukotanya dari Tibriz, kemudian ke
Qazwin dan terakhir di Isfahan. Pada periode ini, Madzhab Isfahan berhasil
membangun teologi yang kukuh, dan Persia mengalami salah satu periode terbesar
dalam kemakmuran politik dan materialnya. Namun pada perjalanan selanjutnya,
dalam usaha yang tak kenal untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya dinasti
shafawiyyah membutuhkan ahli fiqh dan para ahli Syi’ah dogmatis. Ini belum lagi
para pengkhutbah dan para ulama yang ditugaskan untuk menyebarluaskan idiologi
negara.
Inti madzhab isfahan
ini adalah upaya untuk menyatukan kekuatan yang beragam dan bertentangan dalam
sejarah intelektual Islam ke dalam kesatuan epistemologis dan ontologis yang
selaras. Hingga puncak gerakan ini pada diri Mulla Shadra As-Syirazi,
upaya-upaya Mir Damad haruslah dianggap sebagai kerangka persiapan..
Pada mulanya
terdapat beragam pertentangan intelelektual Islam. Satu sisi ada kelompok
filafat, kemudian kaum sufistik dan dogmatikawan Syi’ah. Ketiga kelompok ini
memunculkan pandangan yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan.
Hal ini terutama para doktrinal Syi’ah yang didukung oleh penguasa Shafawiyyah
hendak membabat habis para filsof. Praktik filsafat yang diupayakan oleh para
filsof Persia dianggap sebagai amalan berbahaya dan mempunyai resiko bahay bagi
merek asendiri.
Hal ini mempengaruhi
terhadap kebijakan politik Bani shafawiyyah. Penguasa shafawiyyah tidak mengalokasikan
anggaran untuk studi filsafat. Hal ini diperparah dengan serangan yang keras
dari para dogmatikawan Syi’ah. Mereka menilai negatif para filsof dengan
menganggap bahwa para filsof adalah orang-orang kafir dan menghina Tuhan.
Tantangan yang hendak dipenuhi oleh madzhab Isfahan adalah mengawinkan semua
diskursus yang beragam dan bertentangan mengenai pemhaman yang sah yang secara
historis telah mengkotak-kotakan kaum muslimin dan selanjutnya menemptkan
Syi’ah yang memimpin semua itu. Butir-butir penting sisnya bukan hanya membuat
tradisi filsafat madzhab peripatetik dan ilumininsme, melainkan juga gnosis
versi Ibnu Arabi san Syai’ah periode pasca Ghaibah.
Terilhami oleh
cita-cita itu, Mulla Shadra, sebagai murid kaliber Mir Damad, kemudian
mengembangkan filsafat yang revolusioner dan ambisius dalam upaya membuat
sintesis yang menyeluruh, bukan hanya antara orientasi-orientasi beragam dalam
tradisi paripatetik dan illuminisme Islam, melainkan yang lebih mendasar lagi,
mengkoordinasikan sintesis yang sulit itu dengan dioktrin gnosis dan doktrin
fiqh Syai’ah. Filsafat ini secara umum bertumpu pada tiga teori yaitu kesatuan
wujud (wahdatul wujud), keutamaan wujud (ashalatul wujud), gerak
substansial (alkharokatul jauhuhariyyah) dan kemanunggalan yang menmgetahui
dan diketahui (ittihad al-‘aqil wa ma’qul). Filsafat ini berusaha
menjembatani antara paradigma rasional empiristik dengan spiritula –mistik.
Oleh karena itu, titik tolak dari seluruh bangunan filsafat Isfahan ini adalah
konsep Ada (wujud). Jadi obyek material filsafat ini yang paling pokok adalah
Being atau Ada.
Sebelumnya, ketika
masih di tangan Mir Damad filsafat ini berpijak pada keberhasilan berkelanjutan
diskursus-diskusus Paripatetik (rasionalistik-aristotelian) dan iluminisme
(spiritual) yang dominan dalam jagat diskurusus filsafat Islam di masa Ibnu
Shina dan suharawardi. Baik Mir Damad maupun Mulla Shadra mencela praktik
spiritual-sufistik hingga melalaikan rasio dan juga sebaliknya para ahli fiqh
yang dogmatis. Bahkan Mulla Shadra mengecam keras kaum sufi yang mabuk maupun
para fiqh yang literalis.
BAB IV
ANALISIS
Dalam makalah ini
kita dapat menganalisis bahwa Filsafat Islam
muncul pada awalnya adalah didorong oleh sebuah cita-cita terciptanya
keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati, agama dan logika.
Kelebihan
filsafat Suhrawardi ini adalah terletak pada epistemologinya yang lebih
menggunakan tradisi local, yakni tradisi zoroasterian yang lebih dulu ada
sebelum Islam. Dengan hal ini Suhrawardi tidak terlalu terjebak pada imitasi
dari pola pemikiran orang lain. Ia tidak berfilsafat dari “alam” pikirannya
orang lain, melainkan justru berangkat dari tradisinya sendiri. Dengan bertolak
dari tradisi lokalnya itu, ia satu sisi tetap menjaga orosinalitas (ashlah)
tetapi tetap terbuka dengan wacana-wacana pemikran baru yang berasal dari pihak
lain (ahdatsah). Dengan ini pula dibuktikan bahwa, kalau memang
fislafat Suharawardi dikatakan sebagai filsafat Islam, maka sejak dahulu kala
Islam memang sudah berkolaborasi dengan tradisi lokal. Sehingga tidak mungkin
Islam ditarik pada wilayah purifikasi, seperti yang diusung oleh
gerakan-gerakan Islam puritan sekarang ini, yang menolak mentah-mentah tradisi
lokal para pengamal Islam itu sendiri.
Namun
kelemahan dalam metode filsafat tersebut adalah tidak adanya ilustrasi dan
metodologi jelas terkait cara untuk mengafirmasi, membahasakan atau
memverivikasi pengalaman iluminatif yang sifatnya spiritual tersebut ke dalam
diskursus logis. Suhrawradi hanya menyuguhkan metodologi yang masih sangat
umum. Masalah ini justru sangat penting. Karena secara sepintas ini terkesan
paradoks. Karena masalah spiritual diklaim sebagai sesuatu yang berlawanan
dengan yang rasional. Maka, sekilas sungguh tidak masuk akal ketika pengalaman
iluminasi itu oleh Suhrawardi harus diwacanakan secara logis. sebagai filsafat yang
berdasarkan pada konsep Ada, filsafat ini pada level ontologis hampir sama
dengan filsafatnya Heidegger. Filsafat Heidegger adalah filsafat yang
berprinsip pada konsep Ada (Being). Hal ini diilhami oleh filsafat Barat yang
menurut Heidegger sendiri terjangkiti amnesia tentang Ada. Ada pada filsafat
modern Barat disamakan dengan adaan (being). Maka dari itu, filsafat madzhab
Isfahan ini untuk era postmodernisme ini sebenarnya menemukan momentumnya.
Ketika filsafat modern diklaim sebagai filsafat yang tak kenal Ada sehingga
menimbulkan beragam masalah akut pada wilayah aksiologinya, maka filsafat
Isfahan ini mempunyai potensi antitesis terhadap spirit filsafat modern yang
mulai dikritik dan digugat oleh banyak orang itu.
BAB V
A.
Simpulan
Filsafat Islam
muncul pada awalnya adalah diorong oleh sebuah cita-cita terciptanya
keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati, agama dan logika. Geliat
pemikiran yang semacam ini muncul tatakala Islam mulai bersentuhan dengan
tradisi filsafat Yunani klasik yang berkembang di abad pertengahan.Tokoh filsof
Islam pertama kali yang berusaha untuk menyelaraskan atau mempertemukan antara
akal dan wahyu adalah Al-Kindi (801-873).
1. Isyraqiyyah
(Illuminisme)
Filsafat Isyraqiyyah
atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya
adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama
dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya
mempunyai perbedaan yang mendasar.
a.
Tokoh- tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik
adalah Suhrawardi.
Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh
Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun
549/1154 M. Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk
mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin
paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu
Shina sebagai filsof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi,
filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak
diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat
paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih
merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang
dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Dalam bagian dari
jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari
pengetahuan khudluri (knowledge by preson).
2. Madzhab
Isfahan (Al-Hikamtul
Muta’aliyyah)
Filsafat madzhab
Isfahan ini lebih dikenal dengan Al-Hikamtul Muta’aliyyah atau fislafat tinggi.
Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu
itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Madzhab ini muncul ketika
dinasti Shafawiyah mulai memindahkan ibukotanya dari Tibriz kemudian ke Qazwin
dan terakhir di Isfahan.
Inti madzhab isfahan
ini adalah upaya untuk menyatukan kekuatan yang beragam dan bertentangan dalam
sejarah intelektual Islam ke dalam kesatuan epistemologis dan ontologis yang
selaras. Hingga puncak gerakan ini pada diri Mulla Shadra As-Syirazi,
upaya-upaya Mir Damad haruslah dianggap sebagai kerangka persiapan.
B. Referensi
-Nasr, Sayyed Hosein, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Buku Pertama Mizan Bandung, 2003.
-Ziai, Hosein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Buku kedua, Mizan Bandung, 2003
-Bagir, Haidar, Buku Saku Filasafat Islam,Mizan
Bandung,2006
-Yazdi, M.T.Misbah, Buku Darras Filsafat Islam,
Mizan Bandung,2003
-Fakhry,Madjid, Sejarah Filsafat Islam:Sebuah Peta
Kronologis, Mizan Bandung, 2002
-Oemar
Amin Husain, Filsafat Islam,
Jakarta,1961.
No comments:
Post a Comment