Nilai-Nilai
Budaya Islam dalam Tradisi “Methik Pari” di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten
Jepara
Indonesia
merupakan negara yang mempunyai keragaman budaya yang sangat banyak, kebudayaan
antara satu daerah dengan daerah yang lain berbeda-beda termasuk juga karakter
dan jenis-jenis budayanya. Salah satu wujud dari kebudayaan yang ada di
masyarakat Indonesia adalah pelaksanaan upacara adat yang didalamnya terdapat
nilai budaya yang tinggi dan banyak memberikan inspirasi bagi kekayaan
kebudayaan daerah yang ada.
Didalam
tradisi Jawa salah satu upacara adat yang sering dilakukan adalah selametan,
yaitu suatu upacara do’a bersama yang dilakukan untuk tujuan tertentu yang
kegiatannya melibatkan semua unsur masyarakat didalam lingkungan bertetangga.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan tradisi selametan merupakan gambaran
adanya keharmonisan
dan kerukunan sosial di daerah tersebut, sebab semua masyarakat dalam lingkungan tersebut berkumpul dalam suasana yang sama dan menikmatii makanan yang sama pula, ini merupakan suatu wujud dari konsep masyarakat Jawa yaitu slamet, rukun, dan harmoni.
dan kerukunan sosial di daerah tersebut, sebab semua masyarakat dalam lingkungan tersebut berkumpul dalam suasana yang sama dan menikmatii makanan yang sama pula, ini merupakan suatu wujud dari konsep masyarakat Jawa yaitu slamet, rukun, dan harmoni.
Salah
satu tradisi upacara adat yang masih dilestarikan masyarakat Jawa adalah
tradisi “Selametan Methik Pari” khususnya di desa Sukosono Kecamatan Kedung
Kabupaten Jepara. Pada zaman nenek moyang dulu sebagian besar masyarakat desa
Sukosono adalah petani oleh karena itu selametan ini dianggap sangat penting,
selametan ini pada dasarnya merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT
atas hasil panen yang telah diperoleh yaitu berupa padi (gabah). Tradisi ini
merupakan ungkapan hidup bermasyarakat dalam berinteraksi dengan penguasa alam
yaitu Allah SWT dan interaksi dengan lingkungan alamnya, yaitu sesama manusia,
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tradisi ini juga mengingatkan kepada manusia untuk
ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian alam, meningkatkan harkat dan
martabat, dan membina hubungan yang baik antar masyarakat.
Pelaksanaan
tradisi “selametan methik pari” ini merupakan tradisi yang telah turun temurun
dilaksanakan oleh nenek moyang sejak masyarakat Jawa belum mengenal agama
Islam. Dahulu sebelum agama Islam disebarkan di Indonesia terutama di Jawa
masyarakat Jawa menganut agama Hindu dan Budha, masyarakat mempunyai sistem
kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dan dinamisme. Kepercayaan tersebut
begitu lekat didalam kehidupan masyarakat Jawa dan secara turun temurun
diajarkan kepada anak cucunya. Nenek moyang masyarakat Jawa beranggapan bahwa
semua benda yang ada disekelilingnya mempunyai nyawa dan semua yang bergerak
dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib. Masyarakat Jawa melaksanakan
tradisi selametan yang bertujuan untuk memuja Tuhannya, para dewa, roh nenek
moyang, makhluk halus, pepohonan, bangunan, dan lain sebagainya yang dianggap
suci dan keramat.
Karena begitu kentalnya kepercayaan mereka,
maka ketika akan menanan dan memanen padi pun diadakan sebuah ritual selametan
yang dilakukan diatas tanah yang akan dikerjakan. Selametan menanam padi
disebut dengan “selametan wiwitan” sedangkan selametan memanen padi disebut
“selametan methik”. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa padi yang telah mereka
panen telah dirasuki oleh roh Dewi Sri, yaitu merupakan dewi kebahagiaan. Oleh
karena itu masyarakat Jawa memiliki kebiasaan menghormati Dewi Sri pada semua tahapan
proses penanaman padi hingga pengambilan hasinya, dengan melakukan selametan. Sebelum
memanen padi, tiap petani akan membuat sesajian dan tumpeng berisikan makanan
yang diletakkan didekat sawah yang akan dipanen kemudian di do’akan. Dalam
sesajian ini permohonan ditunjukan kepada Dewi Sri agar memberinya panen yang
berlimpah, dan ucapan terimakasih karena telah melindungi padi dari segala
penyakit dan hama.[1]
Setelah
agama Islam masuk di Jawa dan masyarakat mulai menganut ajaran Islam, tradisi
“selametan methik pari” yang telah turun temurun dilaksanakan ini tidak serta
merta ditinggalkan, tetapi tradisi tersebut diakulturasikan dengan ajaran
Islam. Tradisi yang telah berkembang dalam masyarakat tetap dilaksanakan, namun
ritual-ritual yang dianggap menyimpang dari Islam dihilangkan dan diganti
dengan ritual-ritual Islam. Seperti ditiadakannya sesajen dan niat selametan
yang awalnya untuk menyembah Dewi Sri diubah dengan berniat berdo’a kepada
Allah SWT agar diberi kemudahan ketika memanen padi dan diberi rizki yang berkah
berupa panen yang melimpah. Selametan ini juga sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Allah atas segala nikmat dan rizki yang telah diberikan kepada orang
yang mengadakan selametan.
Pelaksanaan
“selametan methik pari” di desa Sukosono yang dahulu dilaksanakan disawah yang
akan dipanen, kini seiring perkembangan zaman selametan tersebut tidak lagi
dilaksanakan disawah tetapi dilaksanakan dirumah orang yang akan mengadakan
panen, prosesi “selametan methik pari” ini mengundang para tetangga sekitar
rumah untuk kemudian berkumpul dan berdo’a bersama-sama yang dipimpin oleh
sesepuh desa atau tokoh masyarakat.[2]
Ketika pelaksanaan prosesi selametan terdapat ubo rampe yang perlu
dipesiapkan, antara lain :
a.
Sego bucet
b.
Bubur merah-bubur putih
c.
Dekem
d.
Kupat-lepet
e.
Pisang raja setangkep
f.
Jajan pasar
g.
Makanan hasil pertanian (singkong, ubi, ganyong, gembili, kaerut,
dll)
Upacara
yang dilaksanakan merupakan wujud dari suatu doa. Dan doa-doa tersebut
dilambangkan dalam dalam ubo rampe yang disediakan, jadi setiap ubo
rampe memeiliki do’a dan makna tersendiri, antara lain :[3]
Ø Sego bucet,
merupakan nasi yang dibentuk menyerupai kerucut dan membentuk seakan-akan
gunung kecil. Ini merupakan lambang hubungan antara manusia dengan Allah (habluminallah)
dan hubungan antara manusia dengan sesama manusia (habluminannas).
Ø Bubur
merah-bubur putih, merupakan lambang dari bibit asal usul kejadian manusia dari
Nabi Adam dan Siti Hawa yang diciptakan Allah melalui perantara darah merah dan
darah putih, harapan dari bubur merah dan putih ini agar orang yang mempunyai
hajat terlepas dari segala bahaya, dan dimudahkan ketika pelaksanaan panen.
Ø Dekem, dekem
ini untuk menghormati para leluhur, dan mempunyai arti untuk menyucikan orang
yang mempunyai hajat maupun tamu yang hadir pada acara selametan.
Ø Kupat-lepet, ketupat
dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “ngaku lepat” yang berartii mengakui
kesalahan, maknanya dengan adanya ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui
kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain.
Sedangkan lepet artinya luput atau keliru, artinya agar orang yang
mempunyai hajat dijauhkan dari kesalahan dan kekeliruan.
Ø Pisang raja
setangkep, adanya pisang raja setangkep karena pisang raja adalah pisang yang
paling enak dan manis, dan merupakan pisang suguhan untuk para raja pada zaman
dahulu. Jadi karena selametan merupakan bentuk shodaqoh untuk para sesama
manusia maka shodaqoh harus memberikan yang terbaik.[4]
Ø Jajan pasar,
mempunyai arti gotong royong dan mempererat tali persaudaraan.
Ø Makanan hasil
pertanian, sebagai perwujudan dari hasil yang didapatkan dari para petani
setelah panem.
No comments:
Post a Comment