Thursday, November 26, 2015

Nilai-Nilai Budaya Islam dalam Tradisi “Methik Pari” di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara

Nilai-Nilai Budaya Islam dalam Tradisi “Methik Pari” di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara
Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman budaya yang sangat banyak, kebudayaan antara satu daerah dengan daerah yang lain berbeda-beda termasuk juga karakter dan jenis-jenis budayanya. Salah satu wujud dari kebudayaan yang ada di masyarakat Indonesia adalah pelaksanaan upacara adat yang didalamnya terdapat nilai budaya yang tinggi dan banyak memberikan inspirasi bagi kekayaan kebudayaan daerah yang ada.
Didalam tradisi Jawa salah satu upacara adat yang sering dilakukan adalah selametan, yaitu suatu upacara do’a bersama yang dilakukan untuk tujuan tertentu yang kegiatannya melibatkan semua unsur masyarakat didalam lingkungan bertetangga. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan tradisi selametan merupakan gambaran adanya keharmonisan
dan kerukunan sosial di daerah tersebut, sebab semua masyarakat dalam lingkungan tersebut berkumpul dalam suasana yang sama dan menikmatii makanan yang sama pula, ini merupakan suatu wujud dari konsep masyarakat Jawa yaitu slamet, rukun, dan harmoni.
Salah satu tradisi upacara adat yang masih dilestarikan masyarakat Jawa adalah tradisi “Selametan Methik Pari” khususnya di desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Pada zaman nenek moyang dulu sebagian besar masyarakat desa Sukosono adalah petani oleh karena itu selametan ini dianggap sangat penting, selametan ini pada dasarnya merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang telah diperoleh yaitu berupa padi (gabah). Tradisi ini merupakan ungkapan hidup bermasyarakat dalam berinteraksi dengan penguasa alam yaitu Allah SWT dan interaksi dengan lingkungan alamnya, yaitu sesama manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tradisi ini juga mengingatkan kepada manusia untuk ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian alam, meningkatkan harkat dan martabat, dan membina hubungan yang baik antar masyarakat.
Pelaksanaan tradisi “selametan methik pari” ini merupakan tradisi yang telah turun temurun dilaksanakan oleh nenek moyang sejak masyarakat Jawa belum mengenal agama Islam. Dahulu sebelum agama Islam disebarkan di Indonesia terutama di Jawa masyarakat Jawa menganut agama Hindu dan Budha, masyarakat mempunyai sistem kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dan dinamisme. Kepercayaan tersebut begitu lekat didalam kehidupan masyarakat Jawa dan secara turun temurun diajarkan kepada anak cucunya. Nenek moyang masyarakat Jawa beranggapan bahwa semua benda yang ada disekelilingnya mempunyai nyawa dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib. Masyarakat Jawa melaksanakan tradisi selametan yang bertujuan untuk memuja Tuhannya, para dewa, roh nenek moyang, makhluk halus, pepohonan, bangunan, dan lain sebagainya yang dianggap suci dan keramat.
 Karena begitu kentalnya kepercayaan mereka, maka ketika akan menanan dan memanen padi pun diadakan sebuah ritual selametan yang dilakukan diatas tanah yang akan dikerjakan. Selametan menanam padi disebut dengan “selametan wiwitan” sedangkan selametan memanen padi disebut “selametan methik”. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa padi yang telah mereka panen telah dirasuki oleh roh Dewi Sri, yaitu merupakan dewi kebahagiaan. Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki kebiasaan menghormati Dewi Sri pada semua tahapan proses penanaman padi hingga pengambilan hasinya, dengan melakukan selametan. Sebelum memanen padi, tiap petani akan membuat sesajian dan tumpeng berisikan makanan yang diletakkan didekat sawah yang akan dipanen kemudian di do’akan. Dalam sesajian ini permohonan ditunjukan kepada Dewi Sri agar memberinya panen yang berlimpah, dan ucapan terimakasih karena telah melindungi padi dari segala penyakit dan hama.[1]
Setelah agama Islam masuk di Jawa dan masyarakat mulai menganut ajaran Islam, tradisi “selametan methik pari” yang telah turun temurun dilaksanakan ini tidak serta merta ditinggalkan, tetapi tradisi tersebut diakulturasikan dengan ajaran Islam. Tradisi yang telah berkembang dalam masyarakat tetap dilaksanakan, namun ritual-ritual yang dianggap menyimpang dari Islam dihilangkan dan diganti dengan ritual-ritual Islam. Seperti ditiadakannya sesajen dan niat selametan yang awalnya untuk menyembah Dewi Sri diubah dengan berniat berdo’a kepada Allah SWT agar diberi kemudahan ketika memanen padi dan diberi rizki yang berkah berupa panen yang melimpah. Selametan ini juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat dan rizki yang telah diberikan kepada orang yang mengadakan selametan.
Pelaksanaan “selametan methik pari” di desa Sukosono yang dahulu dilaksanakan disawah yang akan dipanen, kini seiring perkembangan zaman selametan tersebut tidak lagi dilaksanakan disawah tetapi dilaksanakan dirumah orang yang akan mengadakan panen, prosesi “selametan methik pari” ini mengundang para tetangga sekitar rumah untuk kemudian berkumpul dan berdo’a bersama-sama yang dipimpin oleh sesepuh desa atau tokoh masyarakat.[2] Ketika pelaksanaan prosesi selametan terdapat ubo rampe yang perlu dipesiapkan, antara lain :
a.    Sego bucet
b.    Bubur merah-bubur putih
c.    Dekem
d.   Kupat-lepet
e.    Pisang raja setangkep
f.     Jajan pasar
g.    Makanan hasil pertanian (singkong, ubi, ganyong, gembili, kaerut, dll)
Upacara yang dilaksanakan merupakan wujud dari suatu doa. Dan doa-doa tersebut dilambangkan dalam dalam ubo rampe yang disediakan, jadi setiap ubo rampe memeiliki do’a dan makna tersendiri, antara lain :[3]
Ø Sego bucet, merupakan nasi yang dibentuk menyerupai kerucut dan membentuk seakan-akan gunung kecil. Ini merupakan lambang hubungan antara manusia dengan Allah (habluminallah) dan hubungan antara manusia dengan sesama manusia (habluminannas).
Ø Bubur merah-bubur putih, merupakan lambang dari bibit asal usul kejadian manusia dari Nabi Adam dan Siti Hawa yang diciptakan Allah melalui perantara darah merah dan darah putih, harapan dari bubur merah dan putih ini agar orang yang mempunyai hajat terlepas dari segala bahaya, dan dimudahkan ketika pelaksanaan panen.
Ø Dekem, dekem ini untuk menghormati para leluhur, dan mempunyai arti untuk menyucikan orang yang mempunyai hajat maupun tamu yang hadir pada acara selametan.
Ø Kupat-lepet, ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “ngaku lepat” yang berartii mengakui kesalahan, maknanya dengan adanya ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sedangkan lepet artinya luput atau keliru, artinya agar orang yang mempunyai hajat dijauhkan dari kesalahan dan kekeliruan.
Ø Pisang raja setangkep, adanya pisang raja setangkep karena pisang raja adalah pisang yang paling enak dan manis, dan merupakan pisang suguhan untuk para raja pada zaman dahulu. Jadi karena selametan merupakan bentuk shodaqoh untuk para sesama manusia maka shodaqoh harus memberikan yang terbaik.[4]
Ø Jajan pasar, mempunyai arti gotong royong dan mempererat tali persaudaraan.
Ø Makanan hasil pertanian, sebagai perwujudan dari hasil yang didapatkan dari para petani setelah panem.



[1] Hasil wawancara dengan bapak Nasim, pada tanggal 02 Juni 2015, pukul 21.00
[2] Hasil wawancara dengan bapak Nasim, pada tanggal 02 Juni 2015, pukul 20.25
[3] Hasil wawancara dengan ibu Wartinah, pada tanggal 02 Juni 2015, pukul 20.45
[4] Hasil wawancara dengan bapak Nasim, pada tanggal 02 Juni 2015, pukul 21.00

No comments:

Post a Comment