AMPYANG
MAULID
DI
MASJID WALI LORAM KULON
Tersiarnya
islam di pulau jawa menurut sejarah banyak terkait dengan tugas-tugas para Wali
dalam mempelopori dan menyiarkan agama islam dikalangan masyarakat jawa yang meliputi
wilayah jawa timur, jawa tengah, dan jawa barat, hal ini dapat ditelusuri
melalui jejak para Wali songo dalam berda’wah.
Para Wali
dalam menyebarkan agama islam dipulau jawa menggunaka media yang dapat menarik
simpatik terhadap masyarakat yang masih awam, bahkan masyarakat yang belum
mengenal ajaran islam, antara lain media yang dipakai adalah seperangkat yang
belum mengenal agama islam, antara lain media yang dipakai adalah seperangkat
alat gamelan.
Demikian pula
Raden Toyib yang bergelar Sultan Hadirin dalam menyebarkan ajaran islam di Desa
Loram Kulon beliau menggunakan pendekatan sosial dengan media yang sangat
sederhana tetapi dapat menyentuh hati masyarakat
Desa Loram Kulon dan sekitarnya, media tersebut berupa Ampyang maulid.
Desa Loram Kulon dan sekitarnya, media tersebut berupa Ampyang maulid.
Dari sinilah
kemudian ampyang maulid menjadi slah satu budaya yang ada di Desa Loram Kulon
sebagai salah satu, media da’wah yang dilestarikan sampai sekarang.
Tradisi ampyang maulid biasanya diperingati
untuk memperingati maulid nabi. Pada
zaman dahulu masyarakat menyebut ampayang maulid dengan sebutan “ancak”. Tetapi
masyarakat di kudus sendiri kerupuk disebut dengan nama ampyang. “Ampyang”
adalah jenis kerupuk yang terbuat dari singkong, berbentuk bulat dengan warna
yang beraneka macam. Biasanya kerupuk tersebut dijadikan sebagai hiasan sebuah
tempat nakanan berbentuk persegi empat, terbuat dari bambu, kayu dengan berbentuk
persegi empat ibadah agama islam seperti masjid, mushola, rumah joglo dan yang
lainnya dibagian pojoknya diberi hiasan spesifik bunga jambul yaitu bambu yang
diserut hingga mlungker-mlungker (melingkar-lingkar) kemudian diberi berbagai
macam warna.
Pada acara ampyang
maulid selain ada kerupuk juga terdapat nasi yang dibungkus daun jati yang
dinamakan sego kepel dan berbagai macam jenis lauk pauk yang dibungkus daun
pisang yang dinamakan botok. Konon botok dan sego kepel berawal dari cerita
sultan hadirin saat membangun gapura yang letaknya didepan masjid Wali At Taqwa
datanglah seorang nenek yang bertanya kepada sultan hadirin, berikut
percakapannya:
Nenek : Sultan hadirin, saya mau
syukuran dimasjid ini, tapi saya bingung ingin memberikan syukuran berupa apa?
Sultan Hadirin : buat saja nasi yang dibungkus daun
jati dan botok berjumlah tuju lalu bawa kesini nek, nanti kita berdo’a
bersama-sama dimasjid setelah itu dimakan oleh orang-orang yang ada dimasjid.
Nenek : iya sultan.
Dari situlah sego kepel dan botok mulai ada disetiap
acara syukuran.
Makna dari sego kepel dan botok sendiri dipilih oleh
Sultan Hadirin yaitu untuk mempermudahkan setiap orang yang perekonomiannya
rendah ingin bersedekah namun tidak harus dengan banyak biaya karena pada zaman
dahulu banyak masyarakat yang perekonomiannya rendah.
Prosesi ampyang
maulid sendiri dilaksanakan oleh masing-masing kelompok dukuh-dukuh maupun
sekelompok untuk membawa bambu yang telah dihiasi dengan berbagai makanan
berupa nasi, botok, krupuk/ampyang dan buah-buahan tersebut biasanya diusung
oleh masyarakat dibawa keliling desa loram kemudian berhenti didepan gapura
masjid. Tidak hanya itu masyarakat pun
ada yang berperan sebagai berbagai tokoh-tokoh agama antara lain Sultan
Hadirin, ratu kalinyamatan dan lain-lain. Ada juga yang menampilkan kesenian-kesenian
yang berupa drum band, pencak silat dan lain sebagainya. Setelah semua
terkumpul di depan masjid kemudian berdo’a bersama (mengalap berkah) yang
dipimpin oleh Imam Masjid, kemudian setelah do’a selesai masyarakat
diperbolehkan mengambil berbagai makanan yang ada dibambu yang dihiasi makanan.
Pesan dari
Ampyang Maulid sendiri adalah :
ü
Sebagai media da’wah yang dilestarikan sampai sekarang.
ü
Sebagai wujud syukur atas nikmat yang diberikan oleh
Allah SWT.
ü
Dan memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW.
by.UMI ZAHROH/Umi_6irl@yahoo.com
No comments:
Post a Comment