Monday, December 14, 2015

Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Kupatan (Bulusan) di Dukuh Sumber Hadipolo Jekulo Kudus

Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Kupatan (Bulusan)
di Dukuh Sumber Hadipolo Jekulo Kudus

           
bulusan kupatan, kudus
Kebiasaan (tradisi) masyarakat Sumber dan sekitarnya setelah hari raya Idul Fitri/ hari kedelapan  (H +7) adalah bodo kupatan. Kupatan (disebut juga Tradisi Bulusan) adalah salah satu peringatan yang dilaksanakan di dukuh sumber desa hadipolo Jekulo Kudus tepatnya di dekat rumah Bapak Kyai Sirojjudin, tepat disebelah selatan terdapat makam mbah Dudo. Sejarah dari tradisi bulusan mengisahkan tentang mbah dudo, seorang alim ulama penyebar agama Islam sekaligus orang yang merubah daerah tersebut dari hutan menjadi sebuah padepokan dan lahan pertanian sebagai sumber penghidupan (sesepuh desa sumber).
            Mbah dudo mempunyai murid yang bernama umara dan umari. Pada bulan ramadhan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul Qur’an, Sunan Muria datang untuk bersilaturrahim dan membaca Al-Qur’an dengan Mbah Dudo sahabatnya. Namun, dalam perjalanannya Sunan Muria
mendengar orang yang sedang ndaut (bercocok tanam) di sawah pada malam hari. Sunan muria berhenti sejenak dan berkata kepada mereka berdua, “lho malam Nuzulul Qur’an kok tidak baca Al Qur’an, malah berendam di air seperti bulus saja” akibat dari perkataan Sunan Muria, kedua murid mbah Dudo tersebut menjadi bulus.
            setalah mbah Dudo mengetahui bahwa kedua muridnya menjaid bulus, lantas mbah Dudo memohon ke simbah sunan muria agar mengembalikan lagi umara dan umari berwujud sebagaimana aslinya (manusia) ,tapi oleh mbah sunan muria tidak melaksanakannya lantaran hal itu sudah menjadi kehendak Allah .
            Sunan Muria kemdian menancapkan tongkat Adem Ati ke tanah dan meminta Kiai Dudo untuk mencabutnya. Setelah berhasil dicabut, tanah tempat tongkat tertancap mengeluarkan air yang jernih dan bersih. Sejak saat itu dikenallah sebutan Bulusan dan nama dukuh sumber.
            Terkait santri yang sudah terlanjur menjadi bulus, Sunan Muria berpesan agar masyarakat Sumber memberikan makanan ketika mempunyai hajat dengan makanan yang sudah matang. Dan ketika Sunan Muria meningalkan tempat itu, Beliau berpesan “Besok anak Cucu kalian akan menghormatimu setiap satu minggu setlah hari raya bulan Syawal”. Dan tradisi itu masih dilestarikan hingga saat ini.[1]
            Prosesi bulusan dimulai dari tahlil umum pada malam hari yang diikuti oleh pihak desa, panitia kupatan dan warga sekitar. Pagi harinya dilaksanakan kirab budaya tetrikal sejarah dan ritual dengan membawa gunungan kupat dan gunungan hasil pertanian yang diarak dari bambu wulung (dukuh sumber paling selatan) ke lokasi bulusan (pesarehan mbah dudo), setelah kupat dan gunungan sampai dilokasi bulusan dilanjutkan dengan atraksi barongsai disekitar pesarehan kemudian setelah itu dilakukan penyerahan kepada juru kuci yaitu Ibu Sudarsih yang nantinya sebagian dari kupat dan gunungan akan diberikan kepada bulus (untuk di makan). Setelah itu dilanjutkan dengan acara do’a bersama yang dipimpin oleh Mbah sirojjudin selaku sesepuh dari dukuh tersebut.
            Pada malam harinya ada kesenian wayang kulit diselatan pesarehan 24 jam nonstop. Makna dari pagelaran wayang tersebut dalah supaya dijadikan tuntunan dan tontonan. Selain itu diramaikan juga dengan pasar malam hingga satu minggu setelah kupatan. Seluruh rangkaian acara tersebut diikuti oleh perangkat desa, lurah, camat, BPD, pemuda pemudi desa dan warga lainnya. Ritual tersebut mempunyai makna untuk mengenang jasa mbah Dudo sebagai cikal bakal dukuh Sumber dan juga penyebar agama Islam supaya keadaan dukuh Sumber dan sekitarnya gemah ripah dan tenang. Selain itu tradisi bulusan juga sebagai haul dari mbah Dudo.[2]
            Selain tradisi Bulusan masih ada adat yang berkaitan dengan bulus yaitu dengan mengirim bulus (mengirim makanan) bisa berupa makanan sederhana (berisi nasi dan telur), atau makanan yang untuk orang kaya (nasi dan ayam ingkung). Oleh warga Sumber hal itu dilakukan jika mereka mempunyai nadzar (lulus sekolah, naik pangkat dll) dan orang yang mempunyai hajat seperti menanam padi, panen, mantenan, khitan dan acara lainnya. Hal ini mempunyai makna bahwa Mbah Kyai Dudo dimanfaatkan sebagai wasilah oleh warga Sumber. [3]
            Kalau tidak melaksanakan “ngirim makanan (caos dhahar)” kadang-kadang ada peringatan “sudah ngirim mbah dudo apa belum?” seperti orang yang punya hajat, menanak nasi tidak matang-matang, menggali sumur tidak keluar sumber air hingga ia mengirim mbah Dudo. Dan ketika mereka sudah ingat dan niat mngirim mbah Dudo maka semua permasalahan akan selesai.
            Nilai Pendidikan Islam dalam tradisi bulusan adalah untuk melestarikan budaya yang sudah ada, meningkatkan ketakwaan kepada Allah (dengan asal usul tsb diharapkan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT), nilai sosiologis dalam perayaan tersebut sebagai warga dukuh sumber akan saling bahu membahu mensukseskan tradisi tersebut dan dapat mempererat tali silaturrahmi. 


by.Durrotun Nasikahah/shikhazawa@yahoo.com




[1] Hasil wawancara dengan Bapak Sirojjudin pada tanggal 29 Mei 2015
[2] Hasil wawancara dengan Ibu Sudarsih pada tanggal 4 Juni 2015
[3] Hasil wawancara dengan Kyai Sirojjudin pada tanggal 2 Mei 2015

No comments:

Post a Comment