Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam
Tradisi Kupatan (Bulusan)
di Dukuh Sumber Hadipolo Jekulo
Kudus
Mbah
dudo mempunyai murid yang bernama umara dan umari. Pada bulan ramadhan,
tepatnya pada waktu malam Nuzulul Qur’an, Sunan Muria datang untuk
bersilaturrahim dan membaca Al-Qur’an dengan Mbah Dudo sahabatnya. Namun, dalam
perjalanannya Sunan Muria
mendengar orang yang sedang ndaut (bercocok tanam) di sawah pada malam hari. Sunan muria berhenti sejenak dan berkata kepada mereka berdua, “lho malam Nuzulul Qur’an kok tidak baca Al Qur’an, malah berendam di air seperti bulus saja” akibat dari perkataan Sunan Muria, kedua murid mbah Dudo tersebut menjadi bulus.
mendengar orang yang sedang ndaut (bercocok tanam) di sawah pada malam hari. Sunan muria berhenti sejenak dan berkata kepada mereka berdua, “lho malam Nuzulul Qur’an kok tidak baca Al Qur’an, malah berendam di air seperti bulus saja” akibat dari perkataan Sunan Muria, kedua murid mbah Dudo tersebut menjadi bulus.
setalah
mbah Dudo mengetahui bahwa kedua muridnya menjaid bulus, lantas mbah Dudo memohon
ke simbah sunan muria agar mengembalikan lagi umara dan umari berwujud
sebagaimana aslinya (manusia) ,tapi oleh mbah sunan muria tidak melaksanakannya
lantaran hal itu sudah menjadi kehendak Allah .
Sunan
Muria kemdian menancapkan tongkat Adem Ati ke tanah dan meminta Kiai Dudo untuk
mencabutnya. Setelah berhasil dicabut, tanah tempat tongkat tertancap
mengeluarkan air yang jernih dan bersih. Sejak saat itu dikenallah sebutan
Bulusan dan nama dukuh sumber.
Terkait
santri yang sudah terlanjur menjadi bulus, Sunan Muria berpesan agar masyarakat
Sumber memberikan makanan ketika mempunyai hajat dengan makanan yang sudah
matang. Dan ketika Sunan Muria meningalkan tempat itu, Beliau berpesan “Besok
anak Cucu kalian akan menghormatimu setiap satu minggu setlah hari raya bulan
Syawal”. Dan tradisi itu masih dilestarikan hingga saat ini.[1]
Prosesi
bulusan dimulai dari tahlil umum pada malam hari yang diikuti oleh pihak desa,
panitia kupatan dan warga sekitar. Pagi harinya dilaksanakan kirab budaya
tetrikal sejarah dan ritual dengan membawa gunungan kupat dan gunungan hasil
pertanian yang diarak dari bambu wulung (dukuh sumber paling selatan) ke lokasi
bulusan (pesarehan mbah dudo), setelah kupat dan gunungan sampai dilokasi
bulusan dilanjutkan dengan atraksi barongsai disekitar pesarehan kemudian
setelah itu dilakukan penyerahan kepada juru kuci yaitu Ibu Sudarsih yang
nantinya sebagian dari kupat dan gunungan akan diberikan kepada bulus (untuk di
makan). Setelah itu dilanjutkan dengan acara do’a bersama yang dipimpin oleh Mbah
sirojjudin selaku sesepuh dari dukuh tersebut.
Pada
malam harinya ada kesenian wayang kulit diselatan pesarehan 24 jam nonstop.
Makna dari pagelaran wayang tersebut dalah supaya dijadikan tuntunan dan
tontonan. Selain itu diramaikan juga dengan pasar malam hingga satu minggu
setelah kupatan. Seluruh rangkaian acara tersebut diikuti oleh perangkat desa,
lurah, camat, BPD, pemuda pemudi desa dan warga lainnya. Ritual tersebut
mempunyai makna untuk mengenang jasa mbah Dudo sebagai cikal bakal dukuh Sumber
dan juga penyebar agama Islam supaya keadaan dukuh Sumber dan sekitarnya gemah
ripah dan tenang. Selain itu tradisi bulusan juga sebagai haul dari mbah Dudo.[2]
Selain
tradisi Bulusan masih ada adat yang berkaitan dengan bulus yaitu dengan
mengirim bulus (mengirim makanan) bisa berupa makanan sederhana (berisi nasi
dan telur), atau makanan yang untuk orang kaya (nasi dan ayam ingkung). Oleh
warga Sumber hal itu dilakukan jika mereka mempunyai nadzar (lulus sekolah,
naik pangkat dll) dan orang yang mempunyai hajat seperti menanam padi, panen,
mantenan, khitan dan acara lainnya. Hal ini mempunyai makna bahwa Mbah Kyai
Dudo dimanfaatkan sebagai wasilah oleh warga Sumber. [3]
Kalau
tidak melaksanakan “ngirim makanan (caos dhahar)” kadang-kadang ada peringatan “sudah
ngirim mbah dudo apa belum?” seperti orang yang punya hajat, menanak nasi tidak
matang-matang, menggali sumur tidak keluar sumber air hingga ia mengirim mbah
Dudo. Dan ketika mereka sudah ingat dan niat mngirim mbah Dudo maka semua
permasalahan akan selesai.
Nilai
Pendidikan Islam dalam tradisi bulusan adalah untuk melestarikan budaya yang
sudah ada, meningkatkan ketakwaan kepada Allah (dengan asal usul tsb diharapkan
dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT), nilai sosiologis dalam perayaan
tersebut sebagai warga dukuh sumber akan saling bahu membahu mensukseskan
tradisi tersebut dan dapat mempererat tali silaturrahmi.
by.Durrotun
Nasikahah/shikhazawa@yahoo.com
No comments:
Post a Comment