BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk
pencari kebenaran dalam perenungannya menemukan tiga bentuk eksistensi
kebenaran yaitu: ilmu pengetahuan, filsafat dan agama.[1]
Dalam makalah ini kami tidak akan membahas mengenai ilmu pengetahuan, filsafat
dan agama serta kaitannya, tetapi kami hanya akan membahas mengenai filsafat
dan agama serta kaitannya.
Sebelum berbicara banyak
hal mengenai filsafat dan agama, alangkah lebih baik jika kita mengetahui apa
maksud dari filsafat dan agama itu sendiri terlebih dulu. Ada banyak pendapat tentang pengertian filsafat oleh
para filosof, demikian pula dengan pengertian agama oleh subyek yang
berbeda-beda.
Menurut namanya saja filsafat boleh dimaknakan
: “ingin tahu dengan mendalam” atau “cinta kepada kebijaksanaan”. Sedangkan agama pada umumnya ialah satu sistema cedro (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia.[2] untuk lebih jelasnya kami akan membahas keduanya pada bab selanjutnya.
: “ingin tahu dengan mendalam” atau “cinta kepada kebijaksanaan”. Sedangkan agama pada umumnya ialah satu sistema cedro (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia.[2] untuk lebih jelasnya kami akan membahas keduanya pada bab selanjutnya.
Banyak orang sering
mengaitkan antara agama dan filsafat. Tentang kebenaran adanya Tuhan,
kebijakan, baik buruk, dan lain-lain. Akan tetapi, kebenaran agama mutlak bagi
pemeluk-pemeluknya, sedangkan kebenaran filsafat bersifat relatif, berbeda-beda
dan bisa berubah. Hal tersebut berkaitan dengan objek formal ilmu filsafat
adalah dialektika antara kebenaran, kebaikan dan keindahan.[3]
Maka dari itu, dalam
makalah ini akan membahas tentang maksud dari agama dan filsafat, persamaan dan
perbedaan antara keduanya. Kemudian membahas tentang hubungan antara agama dan
filsafat, serta manfaat ilmu filsafat bagi agama.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa maksud dari filsafat dan
agama?
2.
Apa persamaan antara filsafat dan
agama?
3.
Apa perbedaan antara filsafat dan
agama?
4.
Bagaimana kaitan antara filsafat
dengan agama?
5.
Apa manfaat filsafat bagi agama?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat dan Agama
1. Pengertian Filsafat
Dari berbagai tulisan
terkesan bahwa tidak ada kesamaan pendapat tentang asal mula kata filsafat.
Sebagian orang berpendapat bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah yang dikaitkan dengan kata sofiah yang berarti bijaksana dan kata sufi sebagai sebutan begi orang yang
ahli berfilsafat. Menurut pendapat ini, istilah filsafat selanjutnya berkembang
di daratan Eropa, dibawa oleh prajurit salah satu kerajaan di Eropa yang
melakukan penyerangan besar-besaran ke jazirah Arab. Di pihak lain ada yang berpendapat
bahwa kata filsafat justru berasal dari bahasa Latin (Yunani) dan merupakan
penyatuan dua kata philo yang berarti
teman, sahabat, yang mungkin ada kaitan dengan bahasa Inggris fellow, dan kata shopia yang artinya sama dengan arti dalam bahasa Arab, yaitu
bijaksana. Namun juga ada yang berpendapat bahwa dalam kata filsafat tersebut
kata kuncinya bukan bijaksana, tetapi kebenaran, sehingga kata filasafat
diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran.
Berikut ini adalah pendapat para
filosof dunia tentang arti dari filsafat:
a.
Menurut Plato, “filsafat adalah
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli.”
b.
Aristoteles mengartikan filsafat
sebagai “ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya
metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.”
c.
Immanuel Kant mengartikan
filsafat sebagai pengetahuan yang menjadi pangkal pokok segala pengetahuan yang
tercakup di dalamnya: apa yang dapat diketahui (metafisika), apa yang
seharusnya diketahui (etika), sampai dimana harapan kita (agama), apa itu
manusia (antropologi).
d.
Sedangkan Al-Farabi memaknai
filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat sebagai yang sebnarnya. [4]
Sedangkan dari sumber
lain, pengertian filsafat adalah berpikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap
segala sesuatu kegiatan, sampai kepada inti permasalahan.[5] Jadi,
dapat kami simpulakan bahwa pengertian filsafat bersifat subyektif, berbeda antara
pendapat satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pastilah ada kesamaan
dari pendapat tersebut.
2. Pengertian Agama
Agama (pada umumnya) ialah:
·
Satu sistema credo (tata keimanan
atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia;
·
Satu sistema ritus (tata
peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu;
·
Satu sistema norma (kaidah) yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan
dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas.
Ditinjau dari segi
sumbernya maka agama (tata keimanan, tata peribadatan dan tata aturan) itu
dapat dibeda-bedakan atas dua bagian:
Pertama, agama samawi (agama
langit, agama wahyu, agama profetis, revealed
religion, Din as-Samawi);
Kedua, agama budaya (agama
bumi, agama filsafat, agama ra’yu, non-revealed
religion, nnatural religion, Din at-Thabi’i, Din al-Ardhi).[6]
Agama adalah unsur
pengalaman yang memiliki nilai tertinggi, yaitu pengabdian kepada sesuatu
kekuasaan yang dipercayai sebagai asal mula dari segala sesuatu, kemudian
menambah dan melestarikan nilai-nilai dengan sejumlah ungkapan yang sesuai
dengan urusan pengabdian tersebut, baik dengan jalan perseorangan, maupun
bersama-sama.
Agama adalah cara yang
dipakai manusia dalam menghidupkan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan di luar
jangkauan manusia ( kekuatan ghaib ) dan kepada-Nyalah manusia menggantungkan harapannya.
Agama adalah petunjuk
kepada manusia untuk membedakan baik dan buruk, benar-salah, dan indah-jelek.
Petunjuk itu berasal dari Tuhan yang dapat dibuktikan keberadaannya melalui
logika, etika dan estetika, pembawa berita-Nya adalah Nabi (awatara) dan
petunjuk yang diberikan disebut kitab suci yang berisikan kumpulan firman Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Orang yang memiliki paham
untuk memisahkan nilai-nilai luhur agama dari kehidupan keseharian manusia
termasuk kehidupan ilmu pengetahuannya disebut paham sekularisme, sedangkan
orangnya disebut ilmuan sekular.
Tetapi tidak sedikit para
ilmuan yang beranggapan bahwa puncak perenungan dan pemikiran terdalam dari
seorang ilmuwan adalah Tuhan, terbukti pada gilirannya ilmuwan akan memikirkan
awal dari segala yang awal menciptakan pengaturan alam raya, dalam
perikehidupan yang multi dimensial ini, kemudian menemukan budi, akal dan rasa
yang tampak secara sengaja ada yang mengaturnya, yaitu Sang Maha Berkehendak.[7]
B. Persamaan Filsafat dan Agama
Baik Filsafat ataupun
Agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama, yaitu
kebenaran.
Filsafat, dengan wataknya
sendiri, menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun tentang manusia (yang
belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena di luar atau di atas
jangkauannya), ataupun tentang Tuhan. Agama, dengan karakteristiknyasendiri
pula, memberikan jawaban atas segala persoalan asasiyang dipertanyakan manusia;
baik tentang alam, maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan.[8]
C. Perbedaan Filsafat dan Agama
Filsafat bersumber dari :
ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, rade, vertand, vernunft)
manusia. sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah.
Filsafat menghampiri
kebenaran dengan cara menualangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal-budi
secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam), tidak merasa
terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan
kebenaran dengan dan dalam Agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban
tentang) berbagai masalah asasi dari atau kepada Kitab Suci, kondifikasi,
firman ilahi untuk manusia di atas
planet bumi ini.
Kebenaran filsafat adalah
kebenaran spekulatif (dugaan yang tak
dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Sehingga dapat
disimpulkan bahawa kebenaran filsafat adalah nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran Agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah
wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar Maha Mutlak dan Maha Sempurna,
yaitu: Allah SWT.
Filsafat dimulai dengan
sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimula
dengan sikap percaya dan iman.[9]
D. Kaitan Filsafat dengan Agama
Masuk jugakah agama dalam
lingkungan filsafat? Oleh karena agama itu sesuatu yang ada, tentu saja agama
masuk juga ke dalam lingkungan filsafat, jadi mungkin ada filsafat agama.
Lain dari pada itu
mungkin juga ada beberapa hal yang pada agama amat penting, misalnya tuhan,
kebijakan, buruk dan baik dan lain-lain, juga diselidiki oleh filsafat karena
hal-hal itu ada, atau paling sedikit mungkin ada. Dalam hal-hal yang demikian
itu, lain juga antara filsafat dan agama.dasar penyelidikannya lainlah agama
dari filsafat. Sudut penyelidikan agama
didasarkan atas wahyu atau firman Tuhan. Kebenaran sesuatu dalam agama
tergantung kepada diwahyukan atau tidaknya. Yang diwahyukan Tuhan haruslah dipercayai,
daripada itu agama ada disebut kepercayaan.
Alasan filsafat untuk
menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, akan tetapi penyelidikan sendiri,
pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak
mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Mungkin ada beberapa hal yang masuk ke
wilayah agama juga diselidiki filsafat. Tetapi antara filsafat dan agama
tidaklah ada pertentangan. Jadi, antara filsafat dan agama dalam beberapa hal
mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan : filsafat berdasarkan
pikiran belaka adapun agama berdasarkan wahyu.[10]
Pengaitan filsafat dengan
agama semata mata karena keduanya merupakan sumber tata perilaku moral yang
dipakai masyarakat pada umumnya. Namun harus diingat bahwa agama bukan budaya
karena agama merupakan firman Tuhan yang diberikan kepada manusia lewat para
nabi dan rasul untuk pedoman dan panduan hidup manusia. sedangkan filsafat
merupakan hasil olah pikir manusia. keduanya dikaitkan karena manusia pada
umumnya hidup dengan berpedoman pada nilai moral agama dan filsafat di samping
sumber nilai moral yang lain.
Dalam hal pedoman moral,
filsafat maupun agama memberikan sesuatu yang dapat dipakai sebagai pedoman
atau pegangan hidup manusia. namun sifat ajaran yang diberikan para filosof
berbeda dengan sifat ajaran agama. Kebenaran agama mutlak benar bagi
pemeluk-pemeluknya, sedangakan kebenaran filsafat bersifat relatif,
berbeda-beda dan bisa berubah. Di samping itu, ajaran agama menghendaki
penganutnya mengikuti ajaran Tuhan, sedangkan ajaran filsafat mungkin malah
mengajak manusia tidak mengakui adanya Tuhan dan memberikan pedoman lain yang
tidak sesuai dengan ajaran Tuhan.
Kaitan positif filsafat dengan
agama terlihat bahwa apa yang dicari filsafat ada kemiripan dengan apa yang
diajarkan agama. Filsafat mencari hakikat, kebenaran terakhir, kebenaran
satu-satunya, penyebab pertama dari segala yang ada. Dan filsafat memberikan
jawaban yang beraneka ragam, baik yang berupa benda, proses maupun keadaan.
Melalui agama, orang menemukan jawaban tersebut dari firman Tuhan, sedangkan
filsafat mencari jawaban dengan cara berfilsafat.
Filosof Anximandros
misalnya, dalam berpikir tentang asal mula segala sesuatu menyimpulkan bahwa
asal mula segala sesuatu adalah “Apeiron” yang sifat-sifatnya adalah tidak
dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan semua yang ada di dunia ini. Oleh
karena tidak sama dengan semua yang ada di dunia, berarti tidak punya awal, tidak
pernah berakhir, atau apa yang tertulis dalam Pustaka Raja Purwa, yang
menceritakan asal mula raja-raja Jawa dengan versi mistik, raja-raja di
kerajaan Islam dikisahkan sebagai keturunan raja-raja kerajaan Hindu, raja-raja
kerajaan Hindu adalah keturunan dewa, dewa-dewa dan seterusnya sampai pada
sesuatu yang merupakan asal terakhir, yang disebut “awang-awang—uwung-uwung”.
Perwujudan istilah yang disebut terakhir ini digambarkan sebagai sesuatu yang
tidak berwujud, tidak berawal, tidak berakhir, tidak ada yang menyamai, dan
sebagainya yang semuanya itu mirip dengan apa yang ada dalam ajaran agama, yang
merupakan beberapa sifat Tuhan.
Kaitan lain antara
filsafat dan agama tampak dengan adanya kenyataan, bahwa pada suatu saat, pada
abad-abad berkembangnya agama-agama besar di Eropa, filsafat telah memberikan
kontribusi untuk pengembangan agama, sehingga muncul suatu ungkapan dalam
bahasa Latin “philosophia est ancilla
theologia” yang artinya kurang lebih filsafat merupakan “abdi” agama—tanda
kutip untuk menunjukkan bahwa kata sandi di sini bukan berarti budak.
Demikian juga kalau tidak
cermat dalam mengkajinya di beberapa negara atau beberapa daerah, ajaran agama
dengan ajaran filsafat seolah menjadi satu sehingga sulit untuk membedakan
apakah yang diyakini masyarakat itu termasuk filsafat atau termasuk agama.[11]
Terdapat beberapa asumsi
terkait dengan hubungan filsafat dengan agama. Asumsi tersebut didasarkan pada
anggapan manusia sebagai makhluk sosial. Saifullah memberikan ikhtisar dalam
bagan yang lebih terperinci mengenai perbandingan jalinan agama dan filsafat
sebagai berikut:
Agama
|
Filsafat
|
·
Agama adalah unsur mutlak dan
sumber kebudayaan.
|
·
Filsafat adalah salah satu
unsur kebudayaan.
|
·
Agama adalah ciptaan Tuhan.
|
·
Filsafat adalah hasil spekulasi
manusia.
|
·
Agama adalah sumber asumsi dari
filsafat dan ilmu pengetahuan (science).
|
·
Filsafat menguji asumsi-asumsi
science, dan science mulai dari asumsi tertentu.
|
·
Agama mendahulukan kepercayaan
daripada pemikiran.
|
·
Filsafat mempercayakan
sepenuhnya kekuatan daya pemikiran.
|
·
Agama mempercayai akan adanya kebenaran
dan khayalan dogma-dogma agama.
|
·
Filsafat tidak mengakui
dogma-dogma agama sebagai kenyataan tentang kebenaran.
|
Dengan demikian terlihat
bahwa peran agama dalam meluruskan filsafat yang spekulatif terrhadap kebenaran
mutlak yang terdapat dalam agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama
adalah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan
pemikiran yang kritis dan logis.[12]
Keselarasan
Agama dan Filsafat
Al-kindi seorang filosof
muslim mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan
agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran, sedang agama berdasarkan wahyu.
Logika merupakan metode filsafat; sedang iman, yang merupakan kepercayaan
kepada hakikat-hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana diwahyukan
Allah kepada Nabi-Nya, merupakan jalan agama. Sejak awal sekali orang-orang
agama tak mempercayai filsafat dan filosof. Para filosof diserang sebagai
pembuat bid’ah. Al-Kindi mesti membela diri dari tuduhan orang-orang agama
bahwa “mengetahui hakikat segala sesuatu adalah kufur”. Sebaliknya Al-Kindi menuduh orang-orang agama sebagai tak
agamis dan menjual agama. “Mereka berselisih dengan orang baik-baik dalam
membela kedudukan yang tidak benar, yang telah mereka peroleh tanpa memberikan
manfaat, dan hanya untuk memperoleh kekuasaan dan menjual agama.
Keselarasan antara filsafat dan
agama didasarkan pada tiga alasan:
1.
Ilmu agama merupakan bagian dari
filsafat.
2.
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi
dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3.
Menuntut ilmu, secara logika,
diperintahkan dalam agama.
Filsafat merupakan
pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyyah), ilmu Tauhid, etika dan
seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Apalagi, para Nabi telah
memerintahkan untuk mencari kebenaran dan berbuat kebajikan. “Keseluruhan ilmu
yang bermanfaat dan jalan untuk memperolehnya, penghindaran dari segala yang
madharat dan mencegahnya – pencapaian semua ini, merupakan yang dinyatakan,
atas nama Allah, oleh nabi-nabi. Para nabi telah menyatakan Kemahaesaan Allah,
kebijakan yang diridhai-Nya, dan penolakan kebijakan yang bertentangan dengan
kebijakan diri.”
Demikian pula, pencarian
filsafat adalah perlu, karena hal itu “perlu atau tidak perlu. Bila para teolog
(yang menentang pencarian filsafat) mengatakan bahwa hal itu perlu, maka mereka
harus mempelajarinya; bila mereka mengatakan bahwa hal itu tak perlu, maka
mereka harus memberikan alasan untuk itu, dan memaparkannya. Pemberian alasan
dan pemaparannya merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat.
Maka dari itu, mereka perlu memiliki pengetahuan ini dan menyadari bahwa mereka
harus memperolehnya.”
Dalam risalah,”Jumlah
Karya Aristoteles”, Al-Kindi membedakan secara tajam antara filsafat dan agama.
Pembicaraannya tentang masalah ini dalam risalah ini, membuktikan bahwa ia
membandingkan agama Islam dengan filsafat Aristoteles. Ilmu ilahiah, yang dibedakannya
dari filsafat, ialah islam, sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah dan
termaktub dalam Al-Qur’an. Bertentangan dengan pendapat umumya bahwa ilmu agama
(teologi) adalah bagian dari filsafat, disini kita dapati:
1)
Bahwa kedudukan teologi lebih
tinggi daripada filsafat
2)
Bahwa agama merupakan ilmu
ilahiah, sedang filsafat merupakan ilmu insani
3)
Bahwa jalur agama adalah
keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal
4)
Bahwa pengetahuan nabi diperoleh
langsung melalui wahyu, sedangakan pengetahuan para filosof diperoleh melalui
logika dan pemaparan.
Kita kutip sepenuhnya kalimat
menarik dan amat penting ini:
“Bila seseorang tak
memperoleh pengetahuan yang bermutu dan banyak, maka ia tak memiliki
pengetahuan yang hakiki dan tak hakiki. Dengan demikian, orang tak dapat
mengharapkannya memiliki sesuatu pengetahuan tentang ilmu insani yang diperoleh
orang melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu. Ilmu-ilmu ini sedikit berada
di bawah kedudukan ilmu ilahiah (al-‘ilm
al-ilahi) yang diperoleh tanpa melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu.
Pengetahuan ini adalah pengetahuan para nabi, suatu pengetahuan yang
dianugerahkan oleh Allah; tak seperti matematika dan logika, ia diperoleh tanpa
melalui riset, upaya, studi, ketekunan dan tak membutuhkan waktu. Ia diperoleh
melalui kehendak-Nya, penyucian dan pencerahan jiwa, sehingga mereka berpaling
kepada kebenaran, lewat pertolongan, ilhan dan wahyu-wahyu-Nya. Pengetahuan ini
bukanlah hak istimewa semua manusia, tetapi hak istimewa para nabi. Inilah
salah satu mukjizat mereka, tanda yang membedakan para nabi dari manusia
lainnya. Manusia yang bukan nabi takkan memperoleh pengetahuan tentang hakikat
dan yang bukan hakikat, yang tanpa melalui riset, ketekunan, matematika,
logika, dan proses waktu.
“Karena itu, para pemikir
menyimpulkan bahwa lantaran ini (pengetahuan) ada, maka ia datang dari-Nya;
sedang orang awam secara fitri tak mampu mencapai pengetahuan serupa, karena
hal itu berada di atas dan di luar sifat dan upaya mereka. Karenanya, mereka
berpasrah diri, patuh, dan mempercayai sepenuhnya kebenaran sabda para nabi.”
Kaum muslim mengikuti
firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an, dan teryakinkan oleh hujjah-hujjah
meyakinkannya. Para filosof bersandar kepada pemaparan logika, yaitu
dalih-dalih mereka. Dalih-dalih filosofis bertumpu pada asas-asas awal
pemaparan bukti diri. Menurut Al-Kindi, hujjah-hujjah Al-Qur’an Suci lebih
pasti dan meyakinkan daripada dalih-dalih filosofis manusia. Al-Qur’an
memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah-masalah yang sangat hakiki, misal penciptaan
dunia dari ketakadaan dan kebangkitannya kembali. Al-Kindi berpendirian bahwa
hujjah-hujjah dalam Al-Qur’an “sangat meyakinkan, jelas, dan menyeluruh”.
Sehingga hal itu menimbulkan kepastian dan keyakinan. Karena itu, Al-Qur’an
jauh mengungguli dalih-dalih para filosof. Sebuah contoh tentang hujjah-hujjah
kuat semacam itu terdapat dalam jawaban terhadap pertanyaan kaum kafir,
“siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-belulangyang sudah menjadi
debu?” jawabannya: “dialah, yang mula membuat mereka, yang akan menghidupkan
mereka.”
Dengan demikian, Al-Kindi
telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Qur’an, sehingga
menciptakan persesuaian antara agama dan filsafat. Dalam karangannya The Worship (sujud) of the Primum Mobile, ayat:
“Bintang-gemintang dan tetumbuhan
bersujud” ditafsirkan dengan berpijak pada aneka makna kata sajdah; yang berarti: (1) sujud dalam
salat; (2) kepatuhan; (3) perubahan dari ketaksempurnaan menjadi kesempurnaan;
(4) mengikuti aturan secara ikhlas. Arti terakhir inilah yang dipergunakan
untuk arti sujudnya bintang-gemintang. Suasana langit dihidupkan, dan
menyebabkan pertumbuhan dan keruntuhan kehidupan di dunia. Gerak primum mobile disebut ‘bersujud’, dalam
arti mematuhi Allah.
Kesimpulannya, Al-Kindi
adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan
filsafat. Ia melicinkan bagi jalan al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ia
memberikan dua pandangan berbeda. Yang pertama,
mengikuti jalur ahli logika, dan memilsafatkan agama. Yang kedua, memandang agama sebagai ilmu ilahiah, dan menempatkannya di
atas filsafat. Ilmu ilahiah ini diketahui lewat jalur para nabi. Tetapi melalui
penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.[13]
E.
Manfaat Filsafat bagi Agama
Filsafat
sekurang-kurangnya dapat menyumbangkan empat pelayanan pada agama :
Ø Pertama.Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap
agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan
Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan
tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti.
Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal
itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada
kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun
sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan
kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita
tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang
itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap
agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya,
mengenai ijma’ dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami
wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu
bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas
pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti
wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena
dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya).
Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab,
filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Ø Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah
memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan,
membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu
teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para
filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi).Teologi dengan
sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham
serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya,
masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya
dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku
dalam masalah “theodicea”, pertanyaan tentang bagaimana Allah yang
sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa
berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi
(teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat
Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus
dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.
Ø Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi
masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan
belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu.Itu terutama
relevan dalam bidang moralitas.Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan
ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh
atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal
dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya
dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam
konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu
diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Filsafat juga dapat
membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan
mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya
pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Ø Pelayanan keempat yang dapat diberikan oleh
filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya.Salah satu tugas
filsafat adalah kritik ideologi.Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat
terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam
pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan
itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia
harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi
itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya,
membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu
dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama
pandangan-pandangan yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab.
Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita
sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya
menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya
karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan
juga dapat dimengerti orang luar.
Arah kedua menyangkut
agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh
penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk
wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama
dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat
dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka
filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan
zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya
dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Filsafat dan Agama
sama-sama membahas tentang kebenaran. Dalam hal pedoman moral, filsafat maupun
agama memberikan sesuatu yang dapat dipakai sebagai pedoman atau pegangan hidup
manusia. Namun sifat ajaran yang diberikan para filosof berbeda dengan sifat ajaran
agama. Kebenaran agama mutlak benar bagi pemeluk-pemeluknya, sedangkan
kebenaran agama bersifat relatif, berbeda-beda dan bisa berubah.
Meskipun seringkali
terdapat perbedaan asumsi antara agamawan dan filosof, setidaknya filsafat
mempunyai sekurang-kurangnya 4 manfaat bagi agama yang telah dijelaskan dalam
pembahasan di atas.
B. Analisis
Menurut
kami, filsafat dan agama itu saling berkaitan, karena inti dari keduanya adalah
mencari sebuah kebenaran, baik yang berhubungan dengan ajaran agama maupun
tidak. Akan tetapi, dasar dalam pemecahannya itu berbeda. Filsafat menentukan
kebenaran berdasarkan akal atau logika seseorang, sedangkan agama menentukan
kebenaran berdasarkan dalil-dalil dalam kitab suci atau firman Tuhan. Kebenaran
filsafat bersifat relatif, sedangkan kebenaran agama itu mutlak benar bagi
pemeluk-pemeluknya.
Demikian
makalah ini kami buat, mohon maaf bila ada kesalahan. Kritik dan saran sangat
kami harapkan, dan semoga bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari,
Saifuddin Endang. Ilmu, Filsafat dan
Aagama. Bina Ilmu: Surabaya. 1979.
Salam,
Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Bumi
Aksara: Jakarta. 2005.
Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an adalah Filsafat. PT Perca: Jakarta. 2003.
Tamsil
Muis, dan Soegiono. Filsafat Pendidikan (Teori dan Praktik). PT Remaja Rosdakarya
Offset: Bandung. 2012.
M.M.
Syarif. Para Filosof Muslim. Mizan:
Bandung.
LR.
Poedjawijatna. Pembimbing Kearah Alam
Filsafat. PT Pembangunan: Jakarta. 1980.
http://mickeystu.blogsot.com/
http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/10/filsafat-dan-agama.html
No comments:
Post a Comment