Friday, October 10, 2014

FILSAFAT DAN AGAMA



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya menemukan tiga bentuk eksistensi kebenaran yaitu: ilmu pengetahuan, filsafat dan agama.[1] Dalam makalah ini kami tidak akan membahas mengenai ilmu pengetahuan, filsafat dan agama serta kaitannya, tetapi kami hanya akan membahas mengenai filsafat dan agama serta kaitannya.
Sebelum berbicara banyak hal mengenai filsafat dan agama, alangkah lebih baik jika kita mengetahui apa maksud dari filsafat dan agama itu sendiri terlebih dulu. Ada banyak  pendapat tentang pengertian filsafat oleh para filosof, demikian pula dengan pengertian agama oleh subyek yang berbeda-beda.
 Menurut namanya saja filsafat boleh dimaknakan
: “ingin tahu dengan mendalam” atau “cinta kepada kebijaksanaan”. Sedangkan agama pada umumnya ialah satu sistema cedro (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia.[2] untuk lebih jelasnya kami akan membahas keduanya pada bab selanjutnya.
Banyak orang sering mengaitkan antara agama dan filsafat. Tentang kebenaran adanya Tuhan, kebijakan, baik buruk, dan lain-lain. Akan tetapi, kebenaran agama mutlak bagi pemeluk-pemeluknya, sedangkan kebenaran filsafat bersifat relatif, berbeda-beda dan bisa berubah. Hal tersebut berkaitan dengan objek formal ilmu filsafat adalah dialektika antara kebenaran, kebaikan dan keindahan.[3]
Maka dari itu, dalam makalah ini akan membahas tentang maksud dari agama dan filsafat, persamaan dan perbedaan antara keduanya. Kemudian membahas tentang hubungan antara agama dan filsafat, serta manfaat ilmu filsafat bagi agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa maksud dari filsafat dan agama?
2.      Apa persamaan antara filsafat dan agama?
3.      Apa perbedaan antara filsafat dan agama?
4.      Bagaimana kaitan antara filsafat dengan agama?
5.      Apa manfaat filsafat bagi agama?


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Filsafat dan Agama
1.      Pengertian Filsafat
Dari berbagai tulisan terkesan bahwa tidak ada kesamaan pendapat tentang asal mula kata filsafat. Sebagian orang berpendapat bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah yang dikaitkan dengan kata sofiah yang berarti bijaksana dan kata sufi sebagai sebutan begi orang yang ahli berfilsafat. Menurut pendapat ini, istilah filsafat selanjutnya berkembang di daratan Eropa, dibawa oleh prajurit salah satu kerajaan di Eropa yang melakukan penyerangan besar-besaran ke jazirah Arab. Di pihak lain ada yang berpendapat bahwa kata filsafat justru berasal dari bahasa Latin (Yunani) dan merupakan penyatuan dua kata philo yang berarti teman, sahabat, yang mungkin ada kaitan dengan bahasa Inggris fellow, dan kata shopia yang artinya sama dengan arti dalam bahasa Arab, yaitu bijaksana. Namun juga ada yang berpendapat bahwa dalam kata filsafat tersebut kata kuncinya bukan bijaksana, tetapi kebenaran, sehingga kata filasafat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau cinta kebenaran.
Berikut ini adalah pendapat para filosof dunia tentang arti dari filsafat:
a.       Menurut Plato, “filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli.”
b.      Aristoteles mengartikan filsafat sebagai “ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.”
c.       Immanuel Kant mengartikan filsafat sebagai pengetahuan yang menjadi pangkal pokok segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya: apa yang dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika), sampai dimana harapan kita (agama), apa itu manusia (antropologi).
d.      Sedangkan Al-Farabi memaknai filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat sebagai yang sebnarnya. [4]
Sedangkan dari sumber lain, pengertian filsafat adalah berpikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala sesuatu kegiatan, sampai kepada inti permasalahan.[5] Jadi, dapat kami simpulakan bahwa pengertian filsafat bersifat subyektif, berbeda antara pendapat satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pastilah ada kesamaan dari pendapat tersebut.
2.      Pengertian Agama
Agama (pada umumnya) ialah:
·  Satu sistema credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia;
·  Satu sistema ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu;
·  Satu sistema norma (kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas.
Ditinjau dari segi sumbernya maka agama (tata keimanan, tata peribadatan dan tata aturan) itu dapat dibeda-bedakan atas dua bagian:
Pertama, agama samawi (agama langit, agama wahyu, agama profetis, revealed religion, Din as-Samawi);
Kedua, agama budaya (agama bumi, agama filsafat, agama ra’yu, non-revealed religion, nnatural religion, Din at-Thabi’i, Din al-Ardhi).[6]
Agama adalah unsur pengalaman yang memiliki nilai tertinggi, yaitu pengabdian kepada sesuatu kekuasaan yang dipercayai sebagai asal mula dari segala sesuatu, kemudian menambah dan melestarikan nilai-nilai dengan sejumlah ungkapan yang sesuai dengan urusan pengabdian tersebut, baik dengan jalan perseorangan, maupun bersama-sama.
Agama adalah cara yang dipakai manusia dalam menghidupkan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan di luar jangkauan manusia ( kekuatan ghaib ) dan kepada-Nyalah manusia menggantungkan harapannya.
Agama adalah petunjuk kepada manusia untuk membedakan baik dan buruk, benar-salah, dan indah-jelek. Petunjuk itu berasal dari Tuhan yang dapat dibuktikan keberadaannya melalui logika, etika dan estetika, pembawa berita-Nya adalah Nabi (awatara) dan petunjuk yang diberikan disebut kitab suci yang berisikan kumpulan firman Tuhan Yang Maha Kuasa.
Orang yang memiliki paham untuk memisahkan nilai-nilai luhur agama dari kehidupan keseharian manusia termasuk kehidupan ilmu pengetahuannya disebut paham sekularisme, sedangkan orangnya disebut ilmuan sekular.
Tetapi tidak sedikit para ilmuan yang beranggapan bahwa puncak perenungan dan pemikiran terdalam dari seorang ilmuwan adalah Tuhan, terbukti pada gilirannya ilmuwan akan memikirkan awal dari segala yang awal menciptakan pengaturan alam raya, dalam perikehidupan yang multi dimensial ini, kemudian menemukan budi, akal dan rasa yang tampak secara sengaja ada yang mengaturnya, yaitu Sang Maha Berkehendak.[7]

B.     Persamaan Filsafat dan Agama
Baik Filsafat ataupun Agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran.
Filsafat, dengan wataknya sendiri, menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun tentang manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena di luar atau di atas jangkauannya), ataupun tentang Tuhan. Agama, dengan karakteristiknyasendiri pula, memberikan jawaban atas segala persoalan asasiyang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan.[8]

C.     Perbedaan Filsafat dan Agama
Filsafat bersumber dari : ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, rade, vertand, vernunft) manusia. sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah.
Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menualangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal-budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam Agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi dari atau kepada Kitab Suci, kondifikasi, firman ilahi untuk manusia di atas planet bumi ini.
Kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Sehingga dapat disimpulkan bahawa kebenaran filsafat adalah nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran Agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu: Allah SWT.
Filsafat dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimula dengan sikap percaya dan iman.[9]

D.     Kaitan Filsafat dengan Agama
Masuk jugakah agama dalam lingkungan filsafat? Oleh karena agama itu sesuatu yang ada, tentu saja agama masuk juga ke dalam lingkungan filsafat, jadi mungkin ada filsafat agama.
Lain dari pada itu mungkin juga ada beberapa hal yang pada agama amat penting, misalnya tuhan, kebijakan, buruk dan baik dan lain-lain, juga diselidiki oleh filsafat karena hal-hal itu ada, atau paling sedikit mungkin ada. Dalam hal-hal yang demikian itu, lain juga antara filsafat dan agama.dasar penyelidikannya lainlah agama dari filsafat.  Sudut penyelidikan agama didasarkan atas wahyu atau firman Tuhan. Kebenaran sesuatu dalam agama tergantung kepada diwahyukan atau tidaknya. Yang diwahyukan Tuhan haruslah dipercayai, daripada itu agama ada disebut kepercayaan.
Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, akan tetapi penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Mungkin ada beberapa hal yang masuk ke wilayah agama juga diselidiki filsafat. Tetapi antara filsafat dan agama tidaklah ada pertentangan. Jadi, antara filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan : filsafat berdasarkan pikiran belaka adapun agama berdasarkan wahyu.[10]
Pengaitan filsafat dengan agama semata mata karena keduanya merupakan sumber tata perilaku moral yang dipakai masyarakat pada umumnya. Namun harus diingat bahwa agama bukan budaya karena agama merupakan firman Tuhan yang diberikan kepada manusia lewat para nabi dan rasul untuk pedoman dan panduan hidup manusia. sedangkan filsafat merupakan hasil olah pikir manusia. keduanya dikaitkan karena manusia pada umumnya hidup dengan berpedoman pada nilai moral agama dan filsafat di samping sumber nilai moral yang lain.
Dalam hal pedoman moral, filsafat maupun agama memberikan sesuatu yang dapat dipakai sebagai pedoman atau pegangan hidup manusia. namun sifat ajaran yang diberikan para filosof berbeda dengan sifat ajaran agama. Kebenaran agama mutlak benar bagi pemeluk-pemeluknya, sedangakan kebenaran filsafat bersifat relatif, berbeda-beda dan bisa berubah. Di samping itu, ajaran agama menghendaki penganutnya mengikuti ajaran Tuhan, sedangkan ajaran filsafat mungkin malah mengajak manusia tidak mengakui adanya Tuhan dan memberikan pedoman lain yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan.
Kaitan positif filsafat dengan agama terlihat bahwa apa yang dicari filsafat ada kemiripan dengan apa yang diajarkan agama. Filsafat mencari hakikat, kebenaran terakhir, kebenaran satu-satunya, penyebab pertama dari segala yang ada. Dan filsafat memberikan jawaban yang beraneka ragam, baik yang berupa benda, proses maupun keadaan. Melalui agama, orang menemukan jawaban tersebut dari firman Tuhan, sedangkan filsafat mencari jawaban dengan cara berfilsafat.
Filosof Anximandros misalnya, dalam berpikir tentang asal mula segala sesuatu menyimpulkan bahwa asal mula segala sesuatu adalah “Apeiron” yang sifat-sifatnya adalah tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan semua yang ada di dunia ini. Oleh karena tidak sama dengan semua yang ada di dunia, berarti tidak punya awal, tidak pernah berakhir, atau apa yang tertulis dalam Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan asal mula raja-raja Jawa dengan versi mistik, raja-raja di kerajaan Islam dikisahkan sebagai keturunan raja-raja kerajaan Hindu, raja-raja kerajaan Hindu adalah keturunan dewa, dewa-dewa dan seterusnya sampai pada sesuatu yang merupakan asal terakhir, yang disebut “awang-awang—uwung-uwung”. Perwujudan istilah yang disebut terakhir ini digambarkan sebagai sesuatu yang tidak berwujud, tidak berawal, tidak berakhir, tidak ada yang menyamai, dan sebagainya yang semuanya itu mirip dengan apa yang ada dalam ajaran agama, yang merupakan beberapa sifat Tuhan.
Kaitan lain antara filsafat dan agama tampak dengan adanya kenyataan, bahwa pada suatu saat, pada abad-abad berkembangnya agama-agama besar di Eropa, filsafat telah memberikan kontribusi untuk pengembangan agama, sehingga muncul suatu ungkapan dalam bahasa Latin “philosophia est ancilla theologia” yang artinya kurang lebih filsafat merupakan “abdi” agama—tanda kutip untuk menunjukkan bahwa kata sandi di sini bukan berarti budak.
Demikian juga kalau tidak cermat dalam mengkajinya di beberapa negara atau beberapa daerah, ajaran agama dengan ajaran filsafat seolah menjadi satu sehingga sulit untuk membedakan apakah yang diyakini masyarakat itu termasuk filsafat atau termasuk agama.[11]
Terdapat beberapa asumsi terkait dengan hubungan filsafat dengan agama. Asumsi tersebut didasarkan pada anggapan manusia sebagai makhluk sosial. Saifullah memberikan ikhtisar dalam bagan yang lebih terperinci mengenai perbandingan jalinan agama dan filsafat sebagai berikut:
Agama

Filsafat
· Agama adalah unsur mutlak dan sumber kebudayaan.
·  Filsafat adalah salah satu unsur kebudayaan.
· Agama adalah ciptaan Tuhan.

·  Filsafat adalah hasil spekulasi manusia.
· Agama adalah sumber asumsi dari filsafat dan ilmu pengetahuan (science).
·  Filsafat menguji asumsi-asumsi science, dan science mulai dari asumsi tertentu.
· Agama mendahulukan kepercayaan daripada pemikiran.
·  Filsafat mempercayakan sepenuhnya kekuatan daya pemikiran.
· Agama mempercayai akan adanya kebenaran dan khayalan dogma-dogma agama.
·  Filsafat tidak mengakui dogma-dogma agama sebagai kenyataan tentang kebenaran.

Dengan demikian terlihat bahwa peran agama dalam meluruskan filsafat yang spekulatif terrhadap kebenaran mutlak yang terdapat dalam agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama adalah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan pemikiran yang kritis dan logis.[12]
Keselarasan Agama dan Filsafat
Al-kindi seorang filosof muslim mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran, sedang agama berdasarkan wahyu. Logika merupakan metode filsafat; sedang iman, yang merupakan kepercayaan kepada hakikat-hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, merupakan jalan agama. Sejak awal sekali orang-orang agama tak mempercayai filsafat dan filosof. Para filosof diserang sebagai pembuat bid’ah. Al-Kindi mesti membela diri dari tuduhan orang-orang agama bahwa “mengetahui hakikat segala sesuatu adalah kufur”. Sebaliknya Al-Kindi menuduh orang-orang agama sebagai tak agamis dan menjual agama. “Mereka berselisih dengan orang baik-baik dalam membela kedudukan yang tidak benar, yang telah mereka peroleh tanpa memberikan manfaat, dan hanya untuk memperoleh kekuasaan dan menjual agama.
Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:
1.      Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
2.      Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3.      Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyyah), ilmu Tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Apalagi, para Nabi telah memerintahkan untuk mencari kebenaran dan berbuat kebajikan. “Keseluruhan ilmu yang bermanfaat dan jalan untuk memperolehnya, penghindaran dari segala yang madharat dan mencegahnya – pencapaian semua ini, merupakan yang dinyatakan, atas nama Allah, oleh nabi-nabi. Para nabi telah menyatakan Kemahaesaan Allah, kebijakan yang diridhai-Nya, dan penolakan kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan diri.”
Demikian pula, pencarian filsafat adalah perlu, karena hal itu “perlu atau tidak perlu. Bila para teolog (yang menentang pencarian filsafat) mengatakan bahwa hal itu perlu, maka mereka harus mempelajarinya; bila mereka mengatakan bahwa hal itu tak perlu, maka mereka harus memberikan alasan untuk itu, dan memaparkannya. Pemberian alasan dan pemaparannya merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat. Maka dari itu, mereka perlu memiliki pengetahuan ini dan menyadari bahwa mereka harus memperolehnya.”
Dalam risalah,”Jumlah Karya Aristoteles”, Al-Kindi membedakan secara tajam antara filsafat dan agama. Pembicaraannya tentang masalah ini dalam risalah ini, membuktikan bahwa ia membandingkan agama Islam dengan filsafat Aristoteles. Ilmu ilahiah, yang dibedakannya dari filsafat, ialah islam, sebagaimana diturunkan kepada Rasulullah dan termaktub dalam Al-Qur’an. Bertentangan dengan pendapat umumya bahwa ilmu agama (teologi) adalah bagian dari filsafat, disini kita dapati:
1)      Bahwa kedudukan teologi lebih tinggi daripada filsafat
2)      Bahwa agama merupakan ilmu ilahiah, sedang filsafat merupakan ilmu insani
3)      Bahwa jalur agama adalah keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal
4)      Bahwa pengetahuan nabi diperoleh langsung melalui wahyu, sedangakan pengetahuan para filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan.
Kita kutip sepenuhnya kalimat menarik dan amat penting ini:
“Bila seseorang tak memperoleh pengetahuan yang bermutu dan banyak, maka ia tak memiliki pengetahuan yang hakiki dan tak hakiki. Dengan demikian, orang tak dapat mengharapkannya memiliki sesuatu pengetahuan tentang ilmu insani yang diperoleh orang melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu. Ilmu-ilmu ini sedikit berada di bawah kedudukan ilmu ilahiah (al-‘ilm al-ilahi) yang diperoleh tanpa melalui riset, upaya, ketekunan dan waktu. Pengetahuan ini adalah pengetahuan para nabi, suatu pengetahuan yang dianugerahkan oleh Allah; tak seperti matematika dan logika, ia diperoleh tanpa melalui riset, upaya, studi, ketekunan dan tak membutuhkan waktu. Ia diperoleh melalui kehendak-Nya, penyucian dan pencerahan jiwa, sehingga mereka berpaling kepada kebenaran, lewat pertolongan, ilhan dan wahyu-wahyu-Nya. Pengetahuan ini bukanlah hak istimewa semua manusia, tetapi hak istimewa para nabi. Inilah salah satu mukjizat mereka, tanda yang membedakan para nabi dari manusia lainnya. Manusia yang bukan nabi takkan memperoleh pengetahuan tentang hakikat dan yang bukan hakikat, yang tanpa melalui riset, ketekunan, matematika, logika, dan proses waktu.
“Karena itu, para pemikir menyimpulkan bahwa lantaran ini (pengetahuan) ada, maka ia datang dari-Nya; sedang orang awam secara fitri tak mampu mencapai pengetahuan serupa, karena hal itu berada di atas dan di luar sifat dan upaya mereka. Karenanya, mereka berpasrah diri, patuh, dan mempercayai sepenuhnya kebenaran sabda para nabi.”
Kaum muslim mengikuti firman Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an, dan teryakinkan oleh hujjah-hujjah meyakinkannya. Para filosof bersandar kepada pemaparan logika, yaitu dalih-dalih mereka. Dalih-dalih filosofis bertumpu pada asas-asas awal pemaparan bukti diri. Menurut Al-Kindi, hujjah-hujjah Al-Qur’an Suci lebih pasti dan meyakinkan daripada dalih-dalih filosofis manusia. Al-Qur’an memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah-masalah yang sangat hakiki, misal penciptaan dunia dari ketakadaan dan kebangkitannya kembali. Al-Kindi berpendirian bahwa hujjah-hujjah dalam Al-Qur’an “sangat meyakinkan, jelas, dan menyeluruh”. Sehingga hal itu menimbulkan kepastian dan keyakinan. Karena itu, Al-Qur’an jauh mengungguli dalih-dalih para filosof. Sebuah contoh tentang hujjah-hujjah kuat semacam itu terdapat dalam jawaban terhadap pertanyaan kaum kafir, “siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-belulangyang sudah menjadi debu?” jawabannya: “dialah, yang mula membuat mereka, yang akan menghidupkan mereka.”
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Qur’an, sehingga menciptakan persesuaian antara agama dan filsafat. Dalam karangannya The Worship (sujud) of the Primum Mobile, ayat: “Bintang-gemintang dan tetumbuhan bersujud” ditafsirkan dengan berpijak pada aneka makna kata sajdah; yang berarti: (1) sujud dalam salat; (2) kepatuhan; (3) perubahan dari ketaksempurnaan menjadi kesempurnaan; (4) mengikuti aturan secara ikhlas. Arti terakhir inilah yang dipergunakan untuk arti sujudnya bintang-gemintang. Suasana langit dihidupkan, dan menyebabkan pertumbuhan dan keruntuhan kehidupan di dunia. Gerak primum mobile disebut ‘bersujud’, dalam arti mematuhi Allah.
Kesimpulannya, Al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia melicinkan bagi jalan al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua pandangan berbeda. Yang pertama, mengikuti jalur ahli logika, dan memilsafatkan agama. Yang kedua, memandang agama sebagai ilmu ilahiah, dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu ilahiah ini diketahui lewat jalur para nabi. Tetapi melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.[13]
E.      Manfaat Filsafat bagi Agama
Filsafat sekurang-kurangnya dapat menyumbangkan empat pelayanan pada agama :
Ø  Pertama.Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma’ dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Ø  Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi).Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah “theodicea”, pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.

Ø  Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu.Itu terutama relevan dalam bidang moralitas.Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral.

Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Ø  Pelayanan keempat yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi kritisnya.Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi.Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandangan yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar.
Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.[14]



BAB III
PENUTUP

A.     Simpulan
Filsafat dan Agama sama-sama membahas tentang kebenaran. Dalam hal pedoman moral, filsafat maupun agama memberikan sesuatu yang dapat dipakai sebagai pedoman atau pegangan hidup manusia. Namun sifat ajaran yang diberikan para filosof berbeda dengan sifat ajaran agama. Kebenaran agama mutlak benar bagi pemeluk-pemeluknya, sedangkan kebenaran agama bersifat relatif, berbeda-beda dan bisa berubah.
Meskipun seringkali terdapat perbedaan asumsi antara agamawan dan filosof, setidaknya filsafat mempunyai sekurang-kurangnya 4 manfaat bagi agama yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas.
B.     Analisis
Menurut kami, filsafat dan agama itu saling berkaitan, karena inti dari keduanya adalah mencari sebuah kebenaran, baik yang berhubungan dengan ajaran agama maupun tidak. Akan tetapi, dasar dalam pemecahannya itu berbeda. Filsafat menentukan kebenaran berdasarkan akal atau logika seseorang, sedangkan agama menentukan kebenaran berdasarkan dalil-dalil dalam kitab suci atau firman Tuhan. Kebenaran filsafat bersifat relatif, sedangkan kebenaran agama itu mutlak benar bagi pemeluk-pemeluknya.
Demikian makalah ini kami buat, mohon maaf bila ada kesalahan. Kritik dan saran sangat kami harapkan, dan semoga bermanfaat bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Saifuddin Endang. Ilmu, Filsafat dan Aagama. Bina Ilmu: Surabaya. 1979.
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Bumi Aksara: Jakarta. 2005.
 Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an adalah Filsafat. PT Perca: Jakarta. 2003.
Tamsil Muis, dan  Soegiono. Filsafat Pendidikan (Teori dan Praktik). PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung. 2012.
M.M. Syarif. Para Filosof Muslim. Mizan: Bandung.
LR. Poedjawijatna. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. PT Pembangunan: Jakarta. 1980.
http://mickeystu.blogsot.com/
http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/10/filsafat-dan-agama.html  


[1] Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Bumi Aksara: Jakarta. 2005. hlm ix
[2] Anshari, Saifuddin Endang. Ilmu, Filsafat dan Aagama. Bina Ilmu: Surabaya. 1979. hlm 172
[3] Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an adalah Filsafat. PT Perca: Jakarta. 2003. hlm 25
[4] Tamsil Muis, dan  Soegiono. Filsafat Pendidikan (Teori dan Praktik). PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung. 2012. Hlm 4
[5] Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an adalah Filsafat. PT Perca: Jakarta. 2003. Hlm 1
[6] Anshari, Saifuddin Endang. Ilmu, Filsafat dan Aagama. Bina Ilmu: Surabaya. 1979. hlm 172
[7] Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an adalah Filsafat. PT Perca: Jakarta. 2003. Hlm 33
[8] Anshari, Saifuddin Endang. Ilmu, Filsafat dan Aagama. Bina Ilmu: Surabaya. 1979. Hlm 173
[9] Anshari, Saifuddin Endang. Ilmu, Filsafat dan Aagama. Bina Ilmu: Surabaya. 1979. Hlm 173
[10] LR. Poedjawijatna. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. PT Pembangunan: Jakarta. 1980. Hlm 9
[11] Tamsil Muis, dan  Soegiono. Filsafat Pendidikan (Teori dan Praktik). PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung. 2012. Hlm 28
[12]  http://mickeystu.blogsot.com/
[13] M.M. Syarif. Para Filosof Muslim. Mizan: Bandung. Hlm 17
[14] http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/10/filsafat-dan-agama.html

No comments:

Post a Comment