A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Al-Qur’an
yang menempatkan posisi sebagai pusat atau pedoman, bukan saja dalam
perkembangan ilmi-ilmu keislaman saja, tetapi juga sebagai inspirator dan
pemandu dalam gerakan-gerakan umat islam. Jadi, pemahaman terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran dan pendalaman bahasa, mempunyai
peranan penting bagi majunya umat Islam, terlebih pada masa kini guna
memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal.
Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba memberikan sedikit
wawasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang musytarak dan
ketentuan-ketentuan hukumnya.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa Pengertian Musytarak?
2.
Apa Sebab terjadinya lafadz Musytarak?
3.
Bagaimana Ketentuan Hukum lafadz
Musytarak?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Musytarak
Kata
Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti bersekutu seperti
dalam ungkapan اشترك القوم yang berarti
“kaum itu bersekutu”.[1]
Dari
pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama’ merumuskan pengertian musytarak
menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ adalah
anatara lain:
Ø
Menurut Ibn Al-Hajib dalam
kitab Syarah Al-Mufasshal :
اللفظ الواحد الدال
على معنيين مختلفين اواكثر دلالة على السوأ عند اهل تلك اللغة
“ Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna
yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa
tersebut ”.
Ø Menurut
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
لفظ يتناول افرادا مختلفة
الحدود على سبيل البدل
“ Satu lafadz yang
menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan
bergantian”.
Maksudnya pergantian disini
adalah kata musytarak tidak dapat diartikandengan semua makna yang terkandung
dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti
salah satunya.[2]
Contoh lafadz عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang
yang memata-matai. Lafadz يد bisa berarti tangan kanan atau tangan kiri. Lafadz سنة bisa
berarti tahun hijriyyah, syamsiyah, maupun masehi.
2.
Sebab-sebab terjadinya lafadz
Musytarak
Burhanuddin dalam bukunya Fiqih
Ibadah menjelaskan diantara faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
lafal-lafal musytarak tersebut diantaranya ialah :
a. Bermacam-macam
suku bangsa Arab terdiri dari dua golongan Adnan dan Qathan. Masing-masing
golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang berpencar-pencar
yang berbeda-beda tempat dan lingkungannya. Terkadang suatu suku membuat nama
untuk suatu pengertian. kemudian suku lain menggunakan nama tersebut untuk
suatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku pertama. Bahkan
kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada kaitannya. Hal ini
menyebabkan adanya satu kata
mempunyai dua arti.
b. Satu lafal mempunyai arti tertentu, namun dipindahkan
maknanya ke arti lain kemudian arti aslinya dilupakan orang.
c. Asal suatu lafal untuk maksud kemudian dipergunakan untuk
arti lain yang ada hubungannya dengan arti asli, tetapi lama-kelamaan hubungan
itu dilupakan sehingga lafal itu digunakan untuk dua arti.
d. Satu lafal dipergunakan untuk arti tertentu dan menurut
isyarat nash dipindahkan ke arti yang lain yang kemudian dipergunakan oleh
orang lain tanpa mengetahui arti aslinya. Kemudian penggunaannya semakin
meluas, bahkan kadang-kadang arti asli itu dilupakan orang.[3]
3.
Ketentuan Hukum
lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah
yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a. Apabila
lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti
bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’,
kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti
dalam istilah bahasa.[4]
b. Apabila
lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang
ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang
menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah
lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah
adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah
adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash
tersebut.[5]
c. Jika
tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut,
menurut golongan hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat
menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan malikiyah dan syafi’iyah
membolehkan menggunakan salah satu artinya.[6]
4.
Contoh-contoh lafadz
Musytarak
Firman Allah swt. QS.
Al-Baqarah : 229
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“ Talak (yang dapat dirujuki)
dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik”.
Dalam
ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah
syara’ yaitu melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan
diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali ikatan secara mutlaq.
Firman Allah swt. QS. Al Baqoroh : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat, dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”.
Lafadz الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa
dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai
syarat-syarat dan rukun tertentu.[7]
Firman Allah swt, QS Al-Baqarah
: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“ Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Lafadz
Quru’ dalam pemakain bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa pula
berarti masa haidl. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala
kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat
tersebut.
Para
ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas.
Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci.
Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats
pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa
Arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan
Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidl. Dalam hal ini, beliau
beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang
secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada
pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan
haidl. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak
sampai tiga).[8]
Firman Allah swt, QS
Al-Baqarah : 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ
اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah
suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.”
Lafadz
المحيض dapat berarti
masa/waktu haid (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah
haid (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat
keluarnya darah haidl. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa
orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli
istri-istrinya dalam waktu haidl. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah
bukanlah waktu haidl akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya
darah haid (qubul).[9]
D. KESIMPULAN
Lafadz Musytarak adalah beberapa kata yang sama, baik
pelafalannya maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Contoh lafadz عين bisa berarti mata,
sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai. Lafadz يد bisa berarti tangan
kanan atau tangan kiri. Lafadz سنة bisa berarti tahun hijriyyah, syamsiyah,
maupun masehi.
Ahkirnya penulis berharap semoga makalah ini sedikit dapat
memberikan kontribusi positif dalam rangka untuk memahami Al-Qur’an sebagai
modal utama bagi umat Islam, khususnya kita sebagai generasi muda Islam
sehinnga mampu menjawab tantangan zaman yang sangat kompleks.
DAFTAR
PUSTAKA
· Abd.
Karim Zaidan, Al-Wajiz, Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996
· Abd.
Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005
· Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta
· Junaidi spd,Pendidikan Lafadz Musytarak,
http://pendidikanque.blogspot.com/2011/06/lafaz-musytarak(26/9/14)
· Burhanudin, Fiqih Ibadah, Cet. I, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2001
[1]
Prof. Dr.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta
[2]
Junaidi spd,Pendidikan Lafadz Musytarak, http://pendidikanque.blogspot.com/2011/06/lafaz-musytarak(26/9/14)
[4]
Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990,
h 181
[5]
Ibid, h 180
[6]
Ibid, h 182
[7]Dr.
Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996, h. 328
[8]
Dr. Wahbah Zuhaily, Op-cit, h 181
[9]
Ibid, h 181
No comments:
Post a Comment