PENDAHULUAN
Berbagai permasalahan
yang muncul di tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah,
ekonomi, sosial, sandang, pangan, kesehatan dsb seringkali meminta jawaban
kepastiannya dari sudut hukum. Hal tersebut karena tidak semua solusi
dijelaskan secara actorg oleh Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga perlu penalaran
terlebih dahulu, kecuali saat Rasulullah masih ada karena setiap persoalan
dapat dijawab oleh beliau, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa fiqh dan ilmu
lainnya menjadi satu dengan diri Rasulullah, hanya saja masih berbentuk ilmu
secara umum, belum dikelompokkan.
Namun pada
kenyataannya, tidak semua orang dapat menalar dari dalil yang terdapat dalam alqur’an
maupun hadits karena tingkat kecerdasan seseorang berbeda dan tidak semua orang
paham agama. Oleh karena itu,
muncullah beberapa ulama yang karena faktor tertentu mereka melahirkan karya buah pemikiran mereka tentang permasalahan hukum agama.
muncullah beberapa ulama yang karena faktor tertentu mereka melahirkan karya buah pemikiran mereka tentang permasalahan hukum agama.
Salah satu ilmu yang
mereka kaji adalah ilmu fiqh, yang saat ini dikenal dan berperan penting bagi seluruh
dunia terutama kaum muslimin yang tidak bisa terlepas dari ilmu ini baik
disadari maupun tidak. Untuk mengenal lebih dalam tentang ilmu fiqh, akan dipaparkan
dalam makalah ini.
Rumusan Masalah
- Apa
pengertian fiqh?
- Bagaimana
pertumbuhan fiqh?
- Apa saja
tujuan mempelajari fiqh?
- Ilmu apa
yang berkaitan dengan fiqh?
Tujuan Penulisan
- Mendeskripsikan
pengertian fiqh
- Menjelaskan
pertumbuhan fiqh
- Mengetahui
tujuan mempelajari fiqh
- Menyebutkan
ilmu yang berkaitan dengan fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Fiqih
Kata “fiqh” secara etimiologis berarti “paham
yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat
lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu
batin. Karena itulah At-Tirmizi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu” berarti
mengetahui batinnya sampai kedalamannya.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa fiqh sama dengan
ilmu. Namun, ilmu bukan bersifat dzanni, sedangkan fiqh bersifat dzanni
karena hasil pemikiran fuqaha. Ada beberapa pendapat tentang definisi
fiqih. Pendapat itu antara lain:
Ø Fiqh
berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali
dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili, yang dimaksud amaliyah adalah
fiqh hanya menyangkut masalah yang bersifat lahiriah, bukan yang batiniah
seperti keimanan atau aqidah. Sedangkan maksud dari tafsili adalah dalil yang
digunakan mujtahid dalam penemuannya.
Ø Fiqh
adalah “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang
berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal.” Kata furu’iyah
berarti ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah.
Dengan menganalisa kedua pendapat diatas, maka dapat
ditemukan hakikat dari fiqh yaitu:
1) Fiqh
itu adalah ilmu tentang hukum Allah
2) Yang
dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah
3) Pengetahuan
tentang hukum Allah itu didasarkan pada dalil tafsili
4) Fiqh
itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau
faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan,
“fiqh adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan
hukum Allah.”[1]
2. Pertumbuhan
Ilmu Fiqh
Ilmu fiqh adalah ilmu yang membahas tentang
hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang
rinci. Obyek kajian ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf dalam pandangan hukum
syari’ah, agar dapat diketahui mana yang diwajibkan, disunnahkan,
diperbolehkan, dimakruhkan, dan diharamkan serta yang batal.
Meskipun terkadang dalam penggunaannya ilmu fiqh
disamakan dengan syari’at, namun keduanya adalah hal yang berbeda. Pengertian
syari’ah mengalami perkembangan. Yang mulanya dipahami sebagai segala peraturan
yang datang dari Allah, baik berupa hukum aqidah(ahkam I’tiqadiyah), hukum-hukum
yang bersifat praktis (ahkam ‘amaliyah), maupun hukum-hukum akhlaq(ahkam
khuluqiyyah), tetapi kemudian diartikan hanya sebagai hukum-hukum yang
bersifat praktis. Bedanya dengan fiqih adalah, kalau syari’ah itu merupakan hukum-hukum
yang terdapat dalam alqur’an dan as-sunnah, maka fiqh merupakan hasil pemahaman
dan interpretasi mujtahid terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan
dalam keduanya. Kata fiqh dalam bahasa non arab disebut juga hukum islam.
Pertumbuhan fiqh sebenarnya sudah ada sejak zaman
Nabi SAW. Yaitu apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu
merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi
itu dapat disebut fiqh atau lebih tepatnya disebut “fiqh sunnah”. Namun
kemungkinan Nabi berijtihad ini masih diperdebatkan para ulama. Sedangkan pada
zaman sahabat, mereka memecahkan masalah dengan bersumber pada alqur’an,
sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal tersebut berarti menandakan sudah munculnya ilmu
ushul fiqh, yang sangat berkaitan dengan fiqh.
Ilmu fiqh baru muncul pada masa tabiat tabi’in pada
tahun kedua hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta
terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syari’ah.
Munculnya ulama-ulama mujtahidin dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya:
·
Perkembangan
Islam ke berbagai daerah dengan latar belakang nilai-nilai dan kebiasaan
masing-masing yang beraneka ragam mengharuskan adanya pedoman yang bersandarkan
pada hukum-hukum syari’ah.
·
Kemudahan untuk
merujuk kepada sumber-sumber dasar syari’ah
·
Semangat kaum
muslimin untuk berpegang kepada ajaran-ajaran agama
·
Adanya iklim yang
menunjang bersamaan dengan berkembangnya filsafat islam dan ilmu-ilmu lainnya
·
Perhatian para
khalifah terhadap fiqh dan para fuqaha
·
Adanya kebebasan
berpendapat dibidang ilmiah, tanpa adanya keharusan untuk mengikuti madzab
tertentu, meskipun masih dibatasi selama tidak melawan penguasa.
Periode kemunculan fiqh:
ü Di
Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah An-Nu’man ibn Tsabit yang
dikenal sebagai imam Hanafi (80-150 H atau 700-767 M) merupakan orang pertama
yang memformulasikan fiqh namun belum dibukukan.
ü Di
Madinah muncul seorang mujtahid besar bernama Malik bin Anas yang dikenal
sebagai imam Maliki (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan fiqh dan
membukukan kumpulan hadits berjudul al-Muwattha, yang berisi hukum-hukum
syari’at.
ü Muncul
seorang mujtahid besar dari Gaza, Palestina bernama Muhammad ibn Idris
asy-Syafi’i yang dikenal sebagai imam Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M).
pemikiran ijtihadnya dibukukan dalam kitabnya yang berjudul al-umm.
ü Muncul
seorang mujtahid besar dari Baghdad bernama Ahmad ibn Hanbal yang dikenal
sebagai imam Hambali (164-241 H atau 780-855 M). ia menulis kitab hadits Musnad
Ahmad.
Pembagian
fiqh
Ilmu fiqh secara konvesional terdiri dari fiqh ‘ibadat (fiqh tentang
persoalan ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji), fiqh munakahat (fiqh
tentang perkawinan dan hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah),
fiqh mu’amalat (fiqh tentang hubungan perdata), dan fiqh jinayat (fiqh tentang
tindak pidana dan hukumannya), fiqh siyasah (membahas tata Negara).[2]
3. Hubungan fiqh dengan Ilmu Lainnya
a)
Fiqh dan Tafsir
Ilmu Tafsir
adalah Bagian dari kajian al-qur’an yang membahas tentang penafsiran dari
ayat-ayat al-qur’an, baik tafsir ayat dengan ayat atau ayat dengan Hadits.
Telah kita
ketahui bahwa sumber utama dan pertama ilmu fiqh adalah al-qur’an. Ilmu Islam yang
pertama kali menyentuh al-qur’an adalah Tafsir.
Menurut istilah ilmu tafsir adalah
upaya untuk memahami ayat-ayat al-qur’an dengan segudang tata cara agar
kita tidak tersesat, dapat memahami, dan
mengerti makna yang sesungguhnya ayat-ayat al-qur’an. Dengan adanya ilmu tafsir
diharapkan kehendak Allah yang tertuang dalam al-qur’an dapat diketahui dan
dipahami yang kemudian dijadikan cahaya yang selalu menerangi jalan hidup
manusia yang penuh dengan kegelapan lantaran dosa yang dilakukannya. Tafsir
yang berusaha mengurai dan menjelaskan khusus ayat-ayat yang berhubungan dengan
norma atau hukum disebut tafsir ayat ahkam. Inilah yang menjadi hubungan antara
ilmu fiqh dengan ilmu tafsir.[3]
b)
Fiqh dan Hadits
Al- Hadits
adalah berita yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, baik berita itu berwujud
perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), atau pengakuan/ persetujuan
terhadap perkataan atau perilaku orang lain (taqrir). Sedangkan al-Sunnah
adalah perilaku Nabi Muhammad SAW yang berdimensi norma.
Hadits adalah
sesuatu yang bersifat teoritik, yang sesuai kaidah dan akan menjadi asas
praktek bagi kaum muslim, sedangkan sunnah merupakan pemberitaan sebuah
perilaku dalam dunia nyata dan fenomena praktik yang dilengkapi dengan
norma-norma perilaku.
Al-Hadits atau
al-Sunnah adalah Sumber ajaran dan norma islam yang kedua, untuk memahami
ajaran dan norma islam tidak akan lepas dari Hadits Nabi Muhammad. Beliau
adalah penafsir pertama dan utama atas ayat-ayat al-Qur’an yang diterima dari
Allah SWT. Jika seseorang ingin memahami
makna al-Qur’an, maka ia harus memahami dan menguasai Hadist Nabi Muhammad. Dengan
lain ungkapan bahwa Fiqh tidak dapat dipahami dengan baik dan bahkan tidak
dapat dikembangkan melalui ijtihad manakala pelakunya mengesampingkan Hadits
Nabi Muhammad SAW.[4]
c)
Fiqh dan Tauhid
Sebagaimana
telah diketahui bahwa islam tidak mengenal “ilmu untuk ilmu”. Ilmu dipelajari
untuk diamalkan, jika fiqh merupakan bagaian dari ilmu islam, maka ia
dipelajari juga untuk diamalkan bukan hanya untuk diketahui. Pengamalan sebuah
ilmu dalam islam juga harus dilandasi keimanan yang dapat dijelaskan seluk beluknya
oleh ilmu Tauhid. Ilmu inilah yang yang membantu manusia muslim dalam proses
mengesakan Allah yang indicatornya yang paling mudah adalah mengamalkan segala
perintahnya dan meninggalkan segala larangannya. Ini berarti dengan ilmu
Tauhid, manusia dituntun untuk membuktikan keimanannya. Pembuktian itu dapat
dilakukan dengan mengamalkan norma-norma yang ditelorkan oleh para ulama fiqh
dengan sarana ilmu ushul al-fiqh. Kedua ilmu ini tidak dapat dipisahkan karena
seorang muslim yang taat dan patuh pada allah dan mengakui keesaannya pasti
mengikuti dan mengamalkan norma-norma yang diperuntutkan kepadanya. Artinya
pengamalan ilmu fiqh harus berbasis tauhid dan tauhid dapat bermanfaat manakal
dibuktikan dengan mengamalkan norma-norma yang terkandung pada ilmu fiqh.[5]
d)
Fiqh dan Sejarah
Kebudayaan Islam
Ketika fiqh
dinyatakan sebagai ilmu yang menjelaskan norma-norma perilaku kaum muslim, maka
ia tidak mungkin dapat mengesampingkan budaya yang diciptakan oleh umat islam
sebagai pengamal ajaran itu. Karena budaya yang diciptakan umat islam tidak
akan lepas dari sumber ajaran yang diyakini kebenarannya, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits sebagai pendampingnnya. Bahwa lingkungan tempat budaya itu diciptakan
selalu mempengaruhi dan tidak dapat
disangkal. Bahkan dalam ushul fiqh dinyatakan bahwa lingkungan itu dapat
dijadikan pertimbangan dalam penetapan norma yang akan diterapkan pada
masyarakat tempat norma itu akan dilaksanakan. Fiqh dimasa pertama islam
mencakup seluruh masalah dalam agama islam, baik yang mencakup masalah akidah,
ibadah, muamalah dan lain-lain.[6]
e)
Fiqh dan Tasawuf
Sering
diungkapkan bahwa fikih itu identik dengan formalitas. Suatu keawajiban akan
dinyatakan sah manakala pelaksanaanya telah memenuhi syarat dan rukun
kewajiban. Syarat dan rukun selalu diungkapkan pleh para ulama fiqh,
berhubungan dengan hal-hal yang fisik dan kasat mata. Oleh karenanya para ulama
fiqh sering terjebak pada sah tidaknya suatu perbuatan, ada satu dua ualam yang
mengurai pentingnya perilaku batin seseorang ketika ia sedang melakukan sebuah
kewajiban. Namun hal ini tidak mendapat sambutan dari ulama lain. Sehingga fiqh
secara umum menjadi kering dan nyaris tak bermakna.
Kita dapat
membayangkan apa jadinya ketika seseorang melakukan kewajiban shalat misalnya
yang hanya berpegang pada sahnya sholat menurut syarat rukun yang ditulis oleh
para ahli fiqh secara murni, maka akan kita lihat seorang hanya mencukupkan
diri memakai pakaian mini secukupnya tanpa memperhatikan etika dan estetika.
Karena yang demikian ini menurut penjelasan ulama fiqh sudah dianggap sah,
demikian juga ketika seorang muslim melakukan shalat sedang hatinya tidak ikut
melakukannya, maka dianggap tidak sah sholatnya. Ketika imam Ghozali mencoba
menggugah umat islam dengan menyatakan bahwa shalat yang dilakukan tanpa adanya
rasa khusyuk di dalamnya,maka shalat itu dianggap memberatkan umat islam.[7]
4. Tujuan Mempelajari Fiqh
Tujuan
mempelajari fiqh adalah untuk menerapkan hukum-hukum syari’at islam terhadap
perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqh adalah rujukan (tempat kembali)
seorang hakim(qadhi) dalam keputusannya. Rujukan seorang mufti dalam fatwanya
dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syari’at dalam ucapan dan
perbuatannya. Inilah tujuan yang dimaksudkan dari semua undang-undang untuk
umat islam, karena dari undang-undang itu tidak dimaksudkan kecuali untuk
menerapkan materi hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain itu
juga untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan atau
diharamkan baginya.[8]
Ilmu fiqh itu
pengarah yang terbaik menuju kebaikan dan taqwa serta petunjuk yang paling
lurus, ilmu fiqh merupakan ilmu yang menunjukkan ke jalan hidayah, ilmu fiqh bagaikan
benteng yang dapat menjaga dari bahaya
dan menjadikan seorang ahli fiqh yang wira’I (menjauhi hal-hal yang diharamkan
).[9]
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah
memahami makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa :
- Fiqh adalah
dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum
Allah.
- Pertumbuhan
fiqh sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi SAW. Yaitu apabila penjelasan
dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas
ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh
atau lebih tepatnya disebut “fiqh sunnah”. Sedangkan pada zaman
sahabat, mereka memecahkan masalah dengan bersumber pada alqur’an, sunnah,
ijma’, dan qiyas. Ilmu fiqh baru muncul pada masa tabiat tabi’in pada
tahun kedua hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota,
serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syari’ah.
- Ilmu fiqh
berkaitan dengan ilmu lainnya seperti tafsir, hadits, tasawuf, tauhid, dan
sejarah kebudayaan islam.
- Tujuan
mempelajari ilmu fiqh adalah memberi pengarahan terbaik menuju kebaikan
dan taqwa serta petunjuk yang paling lurus, ilmu fiqh merupakan ilmu yang
menunjukkan ke jalan hidayah, ilmu
fiqh bagaikan benteng yang dapat
menjaga dari bahaya dan menjadikan seorang ahli fiqh yang wira’I (menjauhi
hal-hal yang diharamkan )
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Sholikul dan
Yasin. 2008. Buku Daros Fiqh Ibadah.
Kudus: Dipa STAIN Kudus.
Khallaf,Abdul
Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam:( Ilmu Ushul Fiqh ). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Nata Abuddin
Masail Al-Fiqhiyyah. 2003. Jakarta: Prenada Media
Syarifudin,
Amir. Ushul fiqh jilid 1. 1997. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
[1]Amir Syarifudin. Ushul fiqh jilid 1. 1997. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
[2] Abuddin Nata. Masail
Al-Fiqhiyyah. 2003. Jakarta: Prenada Media
[3] Yasin dan Sholikul Hadi.
2008. Buku Daros Fiqh Ibadah. Kudus:
Dipa STAIN Kudus. Hal.20
[4] Ibid. Hal.21
[5] Yasin, dan Sholikul Hadi.
2008. Buku Daros Fiqh Ibadah. Kudus:
Dipa STAIN Kudus. Hal.22
[6] Ibid. Hal.22-23
[7] Ibid. Hal.24
[8] Abdul Wahhab Khallaf. 1996.
Kaidah-kaidah Hukum Islam:( Ilmu Ushul Fiqh ). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hal.6
[9] Yasin, dan Sholikul Hadi.
2008. Buku Daros Fiqh Ibadah. Kudus:
Dipa STAIN Kudus. Hal.14
No comments:
Post a Comment