Wednesday, October 28, 2015

Ilmu Fiqh

PENDAHULUAN

Berbagai permasalahan yang muncul di tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan, kesehatan dsb seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Hal tersebut karena tidak semua solusi dijelaskan secara actorg oleh Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga perlu penalaran terlebih dahulu, kecuali saat Rasulullah masih ada karena setiap persoalan dapat dijawab oleh beliau, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa fiqh dan ilmu lainnya menjadi satu dengan diri Rasulullah, hanya saja masih berbentuk ilmu secara umum, belum dikelompokkan.
Namun pada kenyataannya, tidak semua orang dapat menalar dari dalil yang terdapat dalam alqur’an maupun hadits karena tingkat kecerdasan seseorang berbeda dan tidak semua orang paham agama.  Oleh karena itu,
muncullah beberapa ulama yang karena faktor tertentu mereka melahirkan karya buah pemikiran mereka tentang permasalahan hukum agama.
Salah satu ilmu yang mereka kaji adalah ilmu fiqh, yang saat ini dikenal dan berperan penting bagi seluruh dunia terutama kaum muslimin yang tidak bisa terlepas dari ilmu ini baik disadari maupun tidak. Untuk mengenal lebih dalam tentang ilmu fiqh, akan dipaparkan dalam makalah ini.

Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian fiqh?
  2. Bagaimana pertumbuhan fiqh?
  3. Apa saja tujuan mempelajari fiqh?
  4. Ilmu apa yang berkaitan dengan fiqh?

Tujuan Penulisan
  1. Mendeskripsikan pengertian fiqh
  2. Menjelaskan pertumbuhan fiqh
  3. Mengetahui tujuan mempelajari fiqh
  4. Menyebutkan ilmu yang berkaitan dengan fiqh

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Fiqih
Kata “fiqh” secara etimiologis berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah At-Tirmizi menyebutkan, “fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kedalamannya.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa fiqh sama dengan ilmu. Namun, ilmu bukan bersifat dzanni, sedangkan fiqh bersifat dzanni karena hasil pemikiran fuqaha. Ada beberapa pendapat tentang definisi fiqih. Pendapat itu antara lain:
Ø  Fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili, yang dimaksud amaliyah adalah fiqh hanya menyangkut masalah yang bersifat lahiriah, bukan yang batiniah seperti keimanan atau aqidah. Sedangkan maksud dari tafsili adalah dalil yang digunakan mujtahid dalam penemuannya.
Ø  Fiqh adalah “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal.” Kata furu’iyah berarti ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah.
Dengan menganalisa kedua pendapat diatas, maka dapat ditemukan hakikat dari fiqh yaitu:
1)      Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah
2)      Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah
3)      Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan pada dalil tafsili
4)      Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “fiqh adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”[1]

2.       Pertumbuhan Ilmu Fiqh
Ilmu fiqh adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Obyek kajian ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf dalam pandangan hukum syari’ah, agar dapat diketahui mana yang diwajibkan, disunnahkan, diperbolehkan, dimakruhkan, dan diharamkan serta yang batal.
Meskipun terkadang dalam penggunaannya ilmu fiqh disamakan dengan syari’at, namun keduanya adalah hal yang berbeda. Pengertian syari’ah mengalami perkembangan. Yang mulanya dipahami sebagai segala peraturan yang datang dari Allah, baik berupa hukum aqidah(ahkam I’tiqadiyah), hukum-hukum yang bersifat praktis (ahkam ‘amaliyah), maupun hukum-hukum akhlaq(ahkam khuluqiyyah), tetapi kemudian diartikan hanya sebagai hukum-hukum yang bersifat praktis. Bedanya dengan fiqih adalah, kalau syari’ah itu merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam alqur’an dan as-sunnah, maka fiqh merupakan hasil pemahaman dan interpretasi mujtahid terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan dalam keduanya. Kata fiqh dalam bahasa non arab disebut juga hukum islam.
Pertumbuhan fiqh sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi SAW. Yaitu apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepatnya disebut “fiqh sunnah”. Namun kemungkinan Nabi berijtihad ini masih diperdebatkan para ulama. Sedangkan pada zaman sahabat, mereka memecahkan masalah dengan bersumber pada alqur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal tersebut berarti menandakan sudah munculnya ilmu ushul fiqh, yang sangat berkaitan dengan fiqh.
Ilmu fiqh baru muncul pada masa tabiat tabi’in pada tahun kedua hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syari’ah.
Munculnya ulama-ulama mujtahidin dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya:
·         Perkembangan Islam ke berbagai daerah dengan latar belakang nilai-nilai dan kebiasaan masing-masing yang beraneka ragam mengharuskan adanya pedoman yang bersandarkan pada hukum-hukum syari’ah.
·         Kemudahan untuk merujuk kepada sumber-sumber dasar syari’ah
·         Semangat kaum muslimin untuk berpegang kepada ajaran-ajaran agama
·         Adanya iklim yang menunjang bersamaan dengan berkembangnya filsafat islam dan ilmu-ilmu lainnya
·         Perhatian para khalifah terhadap fiqh dan para fuqaha
·         Adanya kebebasan berpendapat dibidang ilmiah, tanpa adanya keharusan untuk mengikuti madzab tertentu, meskipun masih dibatasi selama tidak melawan penguasa.
Periode kemunculan fiqh:
ü  Di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah An-Nu’man ibn Tsabit yang dikenal sebagai imam Hanafi (80-150 H atau 700-767 M) merupakan orang pertama yang memformulasikan fiqh namun belum dibukukan.
ü  Di Madinah muncul seorang mujtahid besar bernama Malik bin Anas yang dikenal sebagai imam Maliki (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan fiqh dan membukukan kumpulan hadits berjudul al-Muwattha, yang berisi hukum-hukum syari’at.
ü  Muncul seorang mujtahid besar dari Gaza, Palestina bernama Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i yang dikenal sebagai imam Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M). pemikiran ijtihadnya dibukukan dalam kitabnya yang berjudul al-umm.
ü  Muncul seorang mujtahid besar dari Baghdad bernama Ahmad ibn Hanbal yang dikenal sebagai imam Hambali (164-241 H atau 780-855 M). ia menulis kitab hadits Musnad Ahmad.
Pembagian fiqh
Ilmu fiqh secara konvesional  terdiri dari fiqh ‘ibadat (fiqh tentang persoalan ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji), fiqh munakahat (fiqh tentang perkawinan dan hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah), fiqh mu’amalat (fiqh tentang hubungan perdata), dan fiqh jinayat (fiqh tentang tindak pidana dan hukumannya), fiqh siyasah (membahas tata Negara).[2]

3.      Hubungan fiqh dengan Ilmu Lainnya

a)      Fiqh dan Tafsir
Ilmu Tafsir adalah Bagian dari kajian al-qur’an yang membahas tentang penafsiran dari ayat-ayat al-qur’an, baik tafsir ayat dengan ayat atau ayat dengan Hadits. 
Telah kita ketahui bahwa sumber utama dan pertama ilmu fiqh adalah al-qur’an. Ilmu Islam yang pertama kali menyentuh al-qur’an adalah Tafsir.  Menurut istilah ilmu tafsir adalah  upaya untuk memahami ayat-ayat al-qur’an dengan segudang tata cara agar kita tidak tersesat,  dapat memahami, dan mengerti makna yang sesungguhnya ayat-ayat al-qur’an. Dengan adanya ilmu tafsir diharapkan kehendak Allah yang tertuang dalam al-qur’an dapat diketahui dan dipahami yang kemudian dijadikan cahaya yang selalu menerangi jalan hidup manusia yang penuh dengan kegelapan lantaran dosa yang dilakukannya. Tafsir yang berusaha mengurai dan menjelaskan khusus ayat-ayat yang berhubungan dengan norma atau hukum disebut tafsir ayat ahkam. Inilah yang menjadi hubungan antara ilmu fiqh dengan ilmu tafsir.[3]
b)      Fiqh dan Hadits
Al- Hadits adalah berita yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, baik berita itu berwujud perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), atau pengakuan/ persetujuan terhadap perkataan atau perilaku orang lain (taqrir). Sedangkan al-Sunnah adalah perilaku Nabi Muhammad SAW yang berdimensi norma.
Hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, yang sesuai kaidah dan akan menjadi asas praktek bagi kaum muslim, sedangkan sunnah merupakan pemberitaan sebuah perilaku dalam dunia nyata dan fenomena praktik yang dilengkapi dengan norma-norma perilaku.
Al-Hadits atau al-Sunnah adalah Sumber ajaran dan norma islam yang kedua, untuk memahami ajaran dan norma islam tidak akan lepas dari Hadits Nabi Muhammad. Beliau adalah penafsir pertama dan utama atas ayat-ayat al-Qur’an yang diterima dari Allah SWT.  Jika seseorang ingin memahami makna al-Qur’an, maka ia harus memahami dan menguasai Hadist Nabi Muhammad. Dengan lain ungkapan bahwa Fiqh tidak dapat dipahami dengan baik dan bahkan tidak dapat dikembangkan melalui ijtihad manakala pelakunya mengesampingkan Hadits Nabi Muhammad SAW.[4]
c)      Fiqh dan Tauhid
Sebagaimana telah diketahui bahwa islam tidak mengenal “ilmu untuk ilmu”. Ilmu dipelajari untuk diamalkan, jika fiqh merupakan bagaian dari ilmu islam, maka ia dipelajari juga untuk diamalkan bukan hanya untuk diketahui. Pengamalan sebuah ilmu dalam islam juga harus dilandasi keimanan yang dapat dijelaskan seluk beluknya oleh ilmu Tauhid. Ilmu inilah yang yang membantu manusia muslim dalam proses mengesakan Allah yang indicatornya yang paling mudah adalah mengamalkan segala perintahnya dan meninggalkan segala larangannya. Ini berarti dengan ilmu Tauhid, manusia dituntun untuk membuktikan keimanannya. Pembuktian itu dapat dilakukan dengan mengamalkan norma-norma yang ditelorkan oleh para ulama fiqh dengan sarana ilmu ushul al-fiqh. Kedua ilmu ini tidak dapat dipisahkan karena seorang muslim yang taat dan patuh pada allah dan mengakui keesaannya pasti mengikuti dan mengamalkan norma-norma yang diperuntutkan kepadanya. Artinya pengamalan ilmu fiqh harus berbasis tauhid dan tauhid dapat bermanfaat manakal dibuktikan dengan mengamalkan norma-norma yang terkandung pada ilmu fiqh.[5]
d)     Fiqh dan Sejarah Kebudayaan Islam
Ketika fiqh dinyatakan sebagai ilmu yang menjelaskan norma-norma perilaku kaum muslim, maka ia tidak mungkin dapat mengesampingkan budaya yang diciptakan oleh umat islam sebagai pengamal ajaran itu. Karena budaya yang diciptakan umat islam tidak akan lepas dari sumber ajaran yang diyakini kebenarannya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pendampingnnya. Bahwa lingkungan tempat budaya itu diciptakan selalu mempengaruhi  dan tidak dapat disangkal. Bahkan dalam ushul fiqh dinyatakan bahwa lingkungan itu dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan norma yang akan diterapkan pada masyarakat tempat norma itu akan dilaksanakan. Fiqh dimasa pertama islam mencakup seluruh masalah dalam agama islam, baik yang mencakup masalah akidah, ibadah, muamalah dan lain-lain.[6]
e)      Fiqh dan Tasawuf
Sering diungkapkan bahwa fikih itu identik dengan formalitas. Suatu keawajiban akan dinyatakan sah manakala pelaksanaanya telah memenuhi syarat dan rukun kewajiban. Syarat dan rukun selalu diungkapkan pleh para ulama fiqh, berhubungan dengan hal-hal yang fisik dan kasat mata. Oleh karenanya para ulama fiqh sering terjebak pada sah tidaknya suatu perbuatan, ada satu dua ualam yang mengurai pentingnya perilaku batin seseorang ketika ia sedang melakukan sebuah kewajiban. Namun hal ini tidak mendapat sambutan dari ulama lain. Sehingga fiqh secara umum menjadi kering dan nyaris tak bermakna.
Kita dapat membayangkan apa jadinya ketika seseorang melakukan kewajiban shalat misalnya yang hanya berpegang pada sahnya sholat menurut syarat rukun yang ditulis oleh para ahli fiqh secara murni, maka akan kita lihat seorang hanya mencukupkan diri memakai pakaian mini secukupnya tanpa memperhatikan etika dan estetika. Karena yang demikian ini menurut penjelasan ulama fiqh sudah dianggap sah, demikian juga ketika seorang muslim melakukan shalat sedang hatinya tidak ikut melakukannya, maka dianggap tidak sah sholatnya. Ketika imam Ghozali mencoba menggugah umat islam dengan menyatakan bahwa shalat yang dilakukan tanpa adanya rasa khusyuk di dalamnya,maka shalat itu dianggap memberatkan umat islam.[7]

4.      Tujuan Mempelajari Fiqh
Tujuan mempelajari fiqh adalah untuk menerapkan hukum-hukum syari’at islam terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqh adalah rujukan (tempat kembali) seorang hakim(qadhi) dalam keputusannya. Rujukan seorang mufti dalam fatwanya dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syari’at dalam ucapan dan perbuatannya. Inilah tujuan yang dimaksudkan dari semua undang-undang untuk umat islam, karena dari undang-undang itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Selain itu juga untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan atau diharamkan baginya.[8]
Ilmu fiqh itu pengarah yang terbaik menuju kebaikan dan taqwa serta petunjuk yang paling lurus, ilmu fiqh merupakan ilmu yang menunjukkan  ke jalan hidayah, ilmu fiqh bagaikan benteng  yang dapat menjaga dari bahaya dan menjadikan seorang ahli fiqh yang wira’I (menjauhi hal-hal yang diharamkan ).[9] 

PENUTUP
Kesimpulan
            Setelah memahami makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa :
  1. Fiqh adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.
  2. Pertumbuhan fiqh sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi SAW. Yaitu apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat disebut fiqh atau lebih tepatnya disebut “fiqh sunnah”. Sedangkan pada zaman sahabat, mereka memecahkan masalah dengan bersumber pada alqur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Ilmu fiqh baru muncul pada masa tabiat tabi’in pada tahun kedua hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syari’ah.
  3. Ilmu fiqh berkaitan dengan ilmu lainnya seperti tafsir, hadits, tasawuf, tauhid, dan sejarah kebudayaan islam.
  4. Tujuan mempelajari ilmu fiqh adalah memberi pengarahan terbaik menuju kebaikan dan taqwa serta petunjuk yang paling lurus, ilmu fiqh merupakan ilmu yang menunjukkan  ke jalan hidayah, ilmu fiqh bagaikan benteng  yang dapat menjaga dari bahaya dan menjadikan seorang ahli fiqh yang wira’I (menjauhi hal-hal yang diharamkan )

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Sholikul dan Yasin. 2008.  Buku Daros Fiqh Ibadah. Kudus: Dipa STAIN Kudus.

Khallaf,Abdul Wahhab. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam:( Ilmu Ushul Fiqh ). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nata Abuddin  Masail Al-Fiqhiyyah.  2003. Jakarta: Prenada Media
Syarifudin, Amir.  Ushul fiqh jilid 1. 1997. Jakarta: Logos Wacana Ilmu





[1]Amir Syarifudin.  Ushul fiqh jilid 1. 1997.  Jakarta: Logos Wacana Ilmu
[2] Abuddin Nata. Masail Al-Fiqhiyyah. 2003. Jakarta: Prenada Media
[3] Yasin dan Sholikul Hadi. 2008.  Buku Daros Fiqh Ibadah. Kudus: Dipa STAIN Kudus. Hal.20
[4] Ibid. Hal.21
[5] Yasin, dan Sholikul Hadi. 2008.  Buku Daros Fiqh Ibadah. Kudus: Dipa STAIN Kudus. Hal.22
[6] Ibid. Hal.22-23
[7] Ibid. Hal.24
[8] Abdul Wahhab Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam:( Ilmu Ushul Fiqh ). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.6
[9] Yasin, dan Sholikul Hadi. 2008.  Buku Daros Fiqh Ibadah. Kudus: Dipa STAIN Kudus. Hal.14

No comments:

Post a Comment